Pendahuluan
Di dusun Sukamandi tinggalah keluarga kecil. Suami isteri dengan seorang
anak. Mereka tinggal di rumah kayu dengan kebun kecil mengelilingi
rumah. Si Suami adalah buruh tani yang mengerjakan ladang orang lain. Si
isteri mengurusi anaknya yang baru saja masuk sekolah menengah pertama.
Anak mereka adalah anak laki-laki yang cukup bongsor seusianya. Namanya
adalah Arjuna. Dan, ternyata nama itu cukup pas untuk dia, karena
walaupun baru menginjak usia remaja, namun wajahnya sudah lumayan
ganteng. Bahkan bisa dibilang di dusun itu untuk anak-anak remaja,
dialah yang paling ganteng.
Si Suami bernama Waluyo. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun merupakan
wajah laki-laki yang penuh ketegasan dan kekuatan, tanda bahwa ia
bukanlah laki-laki yang gampang disepelekan, apalagi badannya yang
tinggi besar dan kekar, sedikit uban memperlihatkan penderitaan karena
usianya baru empat puluhan. Si Isteri bernama Dewi, baru berusia dua
puluh delapan tahun, karena menikah ketika usianya 14 tahun. Wajahnya
cantik. Tampaknya ketampanan anaknya menurun dari dia. Bila suaminya
bertinggi 177 cm, Dewi bertinggi badan 160 cm. Walaupun ini adalah
tinggi rata-rata wanita indonesia, namun karena tubuh Dewi yang berisi
dan cenderung terlihat gemuk sehingga dia tidak nampak tinggi ataupun
pendek dibanding perempuan lain. Arjuna yang berusia 13 tahun bertinggi
badan sekitar 155 cm, paling tinggi di antara teman-teman sebayanya. Dan
badannya mengikuti postur ayahnya, kekar dan kokoh, walaupun tidak sama
persis dibanding ayahnya.
Sebenarnya Dewi adalah isteri kedua Waluyo. Sebelumnya Waluyo pernah
menikah dan bercerai. Isteri pertamanya bernama Fauziah, anak pedagang
sapi dari Kalimantan yang keturunan Arab. Dari Fauziah, Waluyo mempunyai
seorang anak gadis berusia 16 tahun bernama Annisa. Fauziah dan Annisa
tinggal bersama keluarga Fauziah di Kalimantan. Fauziah kini berusia 35
tahun dan belum bersuami lagi. Berhubung ayah Fauziah telah meninggal
dan ia adalah anak tertua, maka Fauziah kini yang mengurusi bisnis
keluarga.
Waluyo pernah bekerja di Kalimantan selama sepuluh tahun, dan di sanalah
ia menikahi Fauziah dan memiliki anak. Namun, karena orangtua Fauziah
tidak setuju maka pernikahan itu berakhir dengan perceraian dan Waluyo
kembali pulang ke Jawa. Dua tahun di kampung halaman, Waluyo akhirnya
menikahi Dewi.
Selama ini keluarga Waluyo dan Dewi adalah keluarga yang tampak
harmonis. Namun memang, karena mereka tinggal di dusun kecil yang
berpenduduk sedikit, lagipula tempat tinggal mereka agak jauh dari
perkampungan, sekitar sekilo dari kampung, maka sebenarnya tidak pernah
ada yang tahu apakah rumah tangga mereka itu bagaimana sebenarnya.
Karena itu, kejadian yang akan menimpa keluarga inipun kemungkinan besar
tidak akan ada orang yang tahu. Kejadian ini dimulai saat Arjuna, atau
Jun, panggilannya, memasuki masa akil baliq dan juga karena pengaruh
oleh teman-temannya. Kejadian ini akan menjadi suatu aib bagi keluarga
mereka. Aib yang menghasilkan berbagi aib nantinya, yang syukurnya
sampai saat inipun tidak diketahui orang lain. Bagaimanakah aku tahu?
Pada saatnya nanti pun akan terlihat.
Maka marilah kita mulai kisah keluarga kecil ini dari awal penyebab segalanya.
BAB SATU
AWAL MULA
Hari itu baru pertama kalinya Jun melihat tubuh wanita telanjang.
Walaupun wanita itu hanyalah foto dalam majalah, namun Jun mendapatkan
informasi yang baru mengenai lawan jenis. Apalagi, si Harun, anak Pak
Lurah yang membawa majalah itu juga menambahkan informasi baru.
Informasi mengenai ngemprut. Yaitu aktivitas laki dan perempuan yang
sangatlah tidak masuk akal kalau diterima pertama kali, yaitu saling
mengadukan kelamin sehingga menyatu. Itu sebabnya, kata Harun, bahasa
Indonesia untuk ngemprut adalah bersetubuh. Menjadi satu tubuh. Yang
laki masukkin tititnya ke tempik perempuannya. Terus rasanya enak.
“Mang kamu pernah, Run?”
“Belum. Tapi aku pernah ngintip Bapak dan Ibu ngemprut. Ibu kelihatannya
kayak makan rujak, mulutnya mendesah-desah, Bapak kayak abis lari di
lapangan, nafasnya memburu sambil menggeram kayak anjing gitu. Tapi
Bapak berkali-kali bilang, ‘ tempikmu legit bener, Jeng!’ terus juga
bilang ‘wuenak, Jeng’”
“Ibu kamu ga ngomong?”
“Iya dia bilang juga enak. ‘enak, pak. Enak, pak. Terus, pak.”
Jun membayangkan kedua orang itu telanjang dan ngemprut di kamar.
Diingatnya Ibu si Harun itu lumayan cantik, walau tak secantik dan
seputih Ibunya, namun Ibu si Harun ini lebih kurus, dan kuning langsat.
“Ibu kamu teteknya besar, Run?”
“Gede, Jun. kayak buah lontar. Pentilnya kayak tutup spidol gedenya.”
“wah, enak tuh kalo diisepin.”
“Hush! Itu Ibuku! Sana isep susu Ibumu sendiri! Ibumu kan susunya keliatan lebih gede.”
Setelah itu Jun dan Harun membahas persoalan ngemprut dengan Ibu
masing-masing, lalu Harun mengajarkan Jun untuk mengkhayal sambil
mengocok kontol sendiri.
“Ini namanya ngeloco, Jun. enak banget. Telapak kita ini kalau kita
genggam di titit maka udah kayak dijepit lubang tempik perempuan.”
Maka keduanya ngeloco sambil masing-masing membayangkan Ibu mereka. Akhirnya mereka ejakulasi di kamar Harun.
***
Semenjak saat itu, Arjuna menjadi dewasa sebelum waktunya. Arjuna selalu
mencari tempat dan waktu yang tepat bagi dirinya agar bisa seorang diri
dan melakukan usaha barunya dibidang seksual ini. Kadang di kamar
mandi, kadang di kamarnya sendiri yang sempit. Seringkali Arjuna
masturbasi sambil membayangkan Ibunya si Harun yang lumayan cantik itu,
namun terkadang Arjuna membayangkan Ibunya sendiri. Harun merasa
bersalah dan kotor, namun anehnya di lain pihak, kenikmatan yang Ia
rasakan itu lebih hebat dibanding bila ia membayangkan Ibunya Harun.
Hari berganti hari dan akhirnya dua minggu telah lewat. Arjuna selalu
menghadapi dilema setiap harinya. Ia mengalami kenikmatan orgasme yang
sangat dahsyat bila ia membayangkan ngemprut dengan Ibunya yang agak
gemuk itu. Dan sedikit demi sedikit, kewarasannya hilang dan kalah oleh
kenikmatan setan yang tak dapat lagi ia tolak.
Sekarang bayangan tubuh Ibunya yang sintal dan padat itu selalu menjadi
bahan untuk ngelamun jorok dan juga untuk ngeloco. Arjuna tak pernah
melihat Ibunya telanjang, namun Ibunya seringkali mondar-mandir di rumah
hanya mengenakan handuk, sehingga Arjuna dapat melihat bagian atas dada
Ibunya yang besar dan juga paha Ibunya yang kuning langsat itu.
Lama kelamaan hanya membayangkan saja tidaklah memuaskan Arjuna. Arjuna
ingin sekali melihat tubuh Ibunya telanjang betulan. Maka diambilnyalah
keputusan untuk mengintip Ibunya waktu lagi mandi.
Rumah mereka adalah rumah petani sederhana terbuat dari kayu. Kamar tamu
kecil dengan dua kamar tidur. Sementara dapur mereka di belakang semi
permanent bersandingan dengan kamar mandi yang juga hanya semi permanen
dengan anyaman bambu. Kedua kamar itu hanya terpisah oleh satu buah
dinding saja. Kamar mandi di sebelah kiri dan di sebelah kanan adalah
dapurnya.
Berhubung ilham ini datang sewaktu malam, Maka Arjuna malam itu ketika
semua orang tidur mulai bekerja. Dicobanya mengintip dari lubang anyaman
bambu, ternyata agak susah. Maka, di sudut ujung dapur Arjuna membuat
beberapa lubang, beberapa di bagian atas, beberapa di tengah dan
beberapa bawah, dengan pisau. Lubang itu dIbuat tepat diantara anyaman.
Setelah selesai, dia menambal dengan potongan kain coklat sehingga tidak
akan begitu terlihat.
Ketika subuh si Arjuna baru bangun. Arjuna merasa tak sabar sehingga ia
harus melihat Ibunya telanjang secepatnya hari itu. Arjuna tidak tahu,
bila hari biasa seperti hari itu, kapan Ibunya mandi. Arjuna hanya tahu
bila hari minggu maka Ibunya akan mandi sekitar subuh, karena Ibunya
sudah mandi ketika Arjuna bangun pagi.
Perlahan Arjuna beringsut keluar kamar, ternyata Dewi sudah bangun dan
sedang mencuci piring, berhubung rumah ini adalah rumah kampung, maka
cuci piring dilakukan di kamar mandi. Dewi rupanya belum mandi, namun
sudah bersiap untuk mandi. Perempuan itu memakai handuk, dan Arjuna
dapat melihat tali BH Hitam Ibunya itu masih dipakai. Bila selesai mandi
biasanya Ibunya tidak akan memakai BH di balik handuknya.
Setelah beberapa lama, akhirnya Dewi selesai mencuci piring. Setelah
piring di taruh di dapur, maka Dewi segera masuk ke kamar mandi. Dewi
tidak tahu bahwa anaknya mengawasinya dengan hati-hati dari dalam rumah.
Ketika Dewi menutup pintu kamar mandi, maka Arjuna bergegas ke dapur
dan membuka lubang-lubang yang telah disiapkannya.
Kamar mandi itu terdiri dari bak mandi dan toilet. Keduanya terletak di
kanan tak jauh dari pintu, berhubung kamar itu tidak begitu luas, dengan
toilet menempel dengan dinding yang berpintu dan persis disebelah yang
lain bak mandi itu menempel pada toilet. Bak itu tidak tinggi, hanya
setinggi paha orang dewasa, namun memanjang kesamping. Dinding bambu
kamar ini dicat putih dengan penerangan lampu neon yang di taruh persis
di antara kedua kamar itu. Berhubung atapnya tidak terlalu tinggi, maka
lampu neon cukup menerangi kamar itu dengan jelas.
Ibunya sedang kencing dengan jongkok di toilet. Karena toilet itu
letaknya di kanan sehingga berhadapan langsung dengan tembok dapur yang
dilubangi oleh Arjuna. Maka ketika Arjuna mulai mengintip, ia sedikit
kecewa karena Ibunya sedang memunggunginya. Namun, jarak antara mereka
berdua kini hanyalah sekitar 10 cm dan berbataskan dinding anyaman bambu
saja. Arjuna dapat melihat tubuh Ibunya yang telanjang bulat dari
belakang. Kulit Ibunya yang kuning langsat bagaikan bersinar karena
tertimpa lampu neon seakan mengundang lelaki untuk mengelus dan
menciuminya. Arjuna juga dapat melihat kedua pantat Ibunya yang bulat
dan sekel yang seakan meminta diremas-remas. Arjuna tidak sabar menunggu
Ibunya segera mandi. Akhirnya tak lama Ibunya berdiri, lalu turun dari
toilet dan melangkah untuk berdiri di depan bak mandi, sehingga kini
Arjuna dengan bebasnya melihat tubuh telanjang Ibunya dari depan. Ibunya
menaruh kaki kirinya di bak mandi dan mulai cebok secara perlahan.
Arjuna terkejut dan sedikit menarik nafas kaget melihat pemandangan
indah nan erotis di hadapannya ketika Ibunya berdiri dan melangkah ke
depan bak mandi. Walaupun tidak muda lagi Ibunya memiliki tubuh yang
sangat sintal berlekuk cantik dan menggiurkan. Ibunya tidak kurus, namun
juga tidak gendut. Ketika berpakaian, Ibunya tampak memiliki tubuh yang
sintal dan agak gemuk, namun ketika telanjang, tubuh Ibunya tampak
sekel dan sangat seksi. Tubuh itu tampak berisi, tidak ada urat atau
otot yang menonjol, namun juga tidak terlihat gembyor karena gemuk. Dada
Ibunya padat, perutnyapun padat dengan sedikit lemak di atas pinggang,
namun tidak gendut.
Arjuna dapat melihat pentil buah dada Ibunya dengan jelas, berwarna
coklat muda kemerahan dengan ujung seperti penghapus pensil berbentuk
silinder tumpul bundar dan pada bagian dasarnya berbentuk lingkaran yang
sedikit lebih lebar dari tutup botol sirup. Pentil itu menghiasi puncak
payudara Ibunya yang bentuknya bagaikan tetesan air mata dengan bagian
bulat menggantung ke bawah hampir sebesar buah kelapa yang sudah diserut
kulitnya.
Payudara itu amat indah, dengan puting yang terletak hampir tepat di
tengah-tengah, sehingga secara proporsional menunjukkan keadaan yang
masih lumayan kencang, hanya sedikit agak kendor karena usia Ibunya itu
tidaklah muda lagi dan sudah punya anak, namun masih dapat dibilang
indah. Bahkan, karena Ibunya ini adalah perempuan desa yang tidak pernah
pergi ke salon atau perawatan kecantikan, bisa dibilang inilah salah
satu payudara dengan keindahan alami yang jarang dimiliki oleh perempuan
pada umumnya.
Ketika Ibunya mulai cebok dengan satu kaki di atas bak mandi, Arjuna
menelan ludah berkali-kali melihat seluruh selangkangan Ibunya yang
telanjang tanpa ditutupi apapun. Dengan rambut kemaluan yang lebat dan
keriting yang tumbuh sepanjang selangkangan itu dan melingkari bibir
memek yang merah muda nan mengkilat karena terkena air kencing dan kini
di siram air untuk membersihkan bekas kencing itu, membuat kontol Arjuna
tidak dapat menjadi lebih keras lagi. Arjuna mengeluarkan kontolnya dan
mulai mengocok batangnya perlahan-lahan sambil terus mengintip.
Untungnya Ibunya bukanlah orang yang suka bergegas. Ia melakukan segala
sesuatu tanpa ada kesan terburu-buru. Karena itulah Arjuna dapat
menikmati cukup lama keindahan kemaluan Ibunya. Arjuna berusaha
menghafal segala lekuk lubang kencing Ibunya itu. bagaimana bentuk bibir
kemaluannya, bagaimana warna dan tekstur dinding di dalamnya, yang
dapat ia lihat ketika Ibunya menggosokkan tangannya waktu cebok,
bagaimana jembut Ibunya berkilau terkena air, bagaimana gerakkan memek
itu ketika digosok dan seluruh pemandangan yang bisa ia dapatkan.
Setelah itu Ibunya mulai mandi. Arjuna dengan bahagia mengamati dengan
teliti segala gerakan tubuh Ibunya yang dimatanya semakin lama semakin
erotis. Padahal Ibunya hanya mandi. Dinikmatinya deburan air yang
menghujam badan Ibunya itu, meninggalkan jejak-jejak basah di seluruh
kulit kuning langsat itu. Bulir-bulir air yang menempel di tubuh Ibunya
ditingkahi oleh sinar lampu neon membuat tubuh yang molek itu bagaikan
permata yang berkilau-kilau. Diikutinya gerakan air ketika Ibunya
menyiramkan air ke tubuhnya sendiri, bagaimana air menyusuri tubuh
Ibunya dari kepala, leher, dada, sepanjang payudara dan belahan dada,
turun ke perut dan menyebar jatuh melewati kedua kaki dan selangkangan
Ibunya. Andaikan aku adalah air, tak akan kutinggalkan tubuh seksi itu,
pikir Arjuna yang semakin mempercepat kocokan pada tititnya.
Kemudian pemandangannya berubah lagi ketika Ibunya mulai menyabuni
badannya. Busa-busa dari sabun menghiasi tubuh telanjang Ibunya bagaikan
salju yang menghampar di pegunungan Jayawijaya. Bagaimana busa-busa itu
mengubah bentuk menjadi seperti tubuh yang dIbungkusnya. Busa-busa
menghampar sepanjang tangan dan kaki, namun melingkari buah dada dan
perut, menambah kesan dan aksen akan keindahan yang ada. Apalagi ketika
busa itu menipis, kulit kuning langsat Ibunya itu kini bukan hanya
bersinar tapi seakan berkerlap-kerlip dan menjanjikan sesuatu yang licin
untuk dirasakan dan dinikmati.
Ketika Ibunya mengangkat sebelah kaki lagi dan menaruhnya di bak mandi
untuk kedua kalinya, untuk lalu menyabuni selangkangannya, Arjuna mulai
mengocok kemaluannya dengan cepat dan brutal. Pemandangan erotis di
ruang sebelah itu sungguh semakin lama semakin membuat Arjuna tidak
tahan. Sambil mengerang dengan suara yang tertahan karena takut
ketahuan, Arjuna membelalakkan matanya lebar-lebar dan menganiaya
kontolnya dengan nafsu yang di ubun-ubun kepala.
Tubuh telanjang Ibunya yang licin dan mengkilat ditambah dengan memek
Ibunya yang kini terlihat lagi dan sedang diusap dengan tangan bersabun
sehingga bibir vagina Ibunya itu bergerak merekah ketika jemari Ibunya
mengusap lewat dan menunjukkan dinding kemaluan Ibunya bagian dalam yang
tampak basah kemerahan, akhirnya berhasil membuat Arjuna mencapai
klimaksnya. Dengan desahan dan erangan yang ditahan, Arjuna ejakulasi di
dinding dapur itu.
Arjuna bergegas mencari lap dan membersihkan dinding dapur dengan cepat
namun ketika menggosok dinding ia melakukannya dengan lembut sehingga
tidak berisik. Ia takut apabila Ibunya setelah selesai mandi akan masuk
ke dapur dan melihat lendir pejunya menempel di dinding, atau bila
ayahnya yang datang ke dapur. Setelah dapur bersih Arjuna ngibrit ke
kamar lagi dan pura-pura tidur.
BAB DUA
MASALAH KELUARGA
Kegiatan Arjuna mengintip Ibunya mandi sekarang menjadi aktivitas harian
yang tidak akan dilewatkannya. Arjuna kini sudah hafal bentuk tubuh
Ibunya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dari bagian belakang maupun
bagian depan. Apalagi kedua buah dada Ibunya yang besar dan ranum itu,
yang dihiasi oleh puting indah bagaikan buah yang ditaruh di atas es
krim sebagai penghias. Bentuk payudara Ibunya terekam dengan begitu
jelas sehingga seakan meninggalkan jejak di benaknya yang tak dapat
dihilangkan. Arjuna tinggal memejamkan mata, maka kedua payudara itu
akan muncul di benaknya. Lekuk lingkar buah dada itu, jurang yang
terjadi antara dua buah payudara itu, warna kulitnya yang kuning
langsat, dan kilauan kulitnya yang basah ketika terkena sinar neon.
Kemudian ilham kedua datang saat Arjuna sedang asyik mengintip Ibunya
yang mandi pagi. Arjuna ingin sekali melihat Ibunya dan ayahnya
melakukan hubungan suami isteri. Ilham ini membuat Arjuna ejakulasi
lebih cepat dari biasanya. Namun Arjuna tidak kecewa, malah menjadi
asyik memikirkan bagaimana rencana selanjutnya akan dilakukan.
Setelah matang rencananya, Arjuna menjalankan niatnya hari itu juga.
ketika ia pulang sekolah dan Ibunya sedang keluar mengantarkan makanan
kepada ayahnya, maka Waluyo masuk kamar orang tuanya yang letaknya
persis di sebelah kamar tidurnya sendiri untuk menyelidiki keadaan.
Rumah mereka adalah rumah kayu tanpa langit-langit. Tipikal rumah petani
sederhana. Membolongi kayu tidaklah mungkin, karena pasti akan
terlihat, namun karena rumah mereka tidak memiliki langit-langit, maka
ada jalan lain untuk dapat mengintip.
Arjuna dapat melongok dari atas dinding kamarnya secara langsung, hanya
saja tempat itu banyak debunya sehingga sangat kotor, lagian letaknya
cukup jauh. Maka mulailah Arjuna mendekorasi ulang kamarnya. Ia
menempatkan lemari pakaiannya pada dinding kamarnya yang tepat di
sebelah kamar orangtuanya. Meja belajarnya – yang dIbuat ayahnya, yang
sebenarnya hanya sebilah papan dipaku pada empat buah kaki, buatannya
kasar namun sangat kokoh – ditaruhnya disamping lemari pakaiannya.
Berhubung lemari itu tidak begitu tinggi, melainkan hanya setengah
dinding, maka pas sekali kalau ia jongkok di atas lemari dan melongok.
Dewi, Ibunya, sempat melihat ke dalam kamar dan menyaksikan Arjuna
sedang membersihkan bagian atas lemari itu. Ibunya malah senang melihat
anaknya mendekorasi ulang kamarnya dan membersihkannya juga. Dewi tidak
tahu bahwa anaknya begitu rajin justru karena memiliki otak yang kotor
dan ingin mengintip kedua orangtuanya ngemprut! Dewi tidak melihat
ketika Arjuna juga membersihkan bagian atas dinding penyekat kedua kamar
itu dan juga tiang di tengahnya, agar nanti tangan Arjuna tidak kotor.
Ketika tengah malam datang, Arjuna yang tidak tidur, mulai beraksi.
Dipanjatnya meja belajarnya, kemudian dengan hati-hati dipanjatnya
lemari pakaiannya dengan perlahan. Ketika ia sudah berjongkok di atas
lemari itu, di pegangnya ujung atas dinding pembatas itu lalu mulai
melongokkan kepalanya untuk melihat ke kamar sebelah.
Arjuna kecewa karena yang dilihatnya hanya Ibunya yang tidur dengan
kain, namun ayahnya tidak terlihat. Arjuna bingung, karena jadwal ronda
ayahnya masih jauh. Maka dengan perlahan ia turun dari lemari itu lalu
keluar kamar dan mencari ayahnya. Ayahnya ternyata tidur di bale-bale di
depan rumah. Hari itu Arjuna gagal. Namun Arjuna tidak patah semangat,
mungkin saja hari ini ayahnya begitu letih sehingga tertidur di depan.
Maka, Arjuna berencana untuk melihat keesokkan harinya.
Namun, ayahnya tidak tidur di kamar tidur bersama Ibunya keesokkan
harinya, atau esoknya lagi, atau besoknya lagi, bahkan selama seminggu
ini Arjuna tidak pernah melihat kedua orang tuanya tidur bersama. Bahkan
pada hari sabtu, ayahnya justru tidak ada di rumah sama sekali. Padahal
malamnya mereka makan bersama, namun pada tengah malam ayahnya tidak
dapat ditemukan di mana-mana.
Anehnya, ketika sepanjang minggu depannya lagi, hal yang sama terjadi.
Arjuna menjadi bingung dan menjadi sangat ingin tahu kenapa kedua orang
tuanya tidak tidur sekamar.
Paginya setelah mandi, ketika sarapan pagi, Arjuna bertanya pada Ibunya.
Seperti biasa ayahnya sudah berangkat ke sawah ketika Arjuna mandi.
“Bu, minggu lalu Arjuna bangun malam-malam. Terus Arjuna mau ke kamar
mandi, tapi karena masih ngantuk Arjuna malah keluar ke serambi. Eh
Bapak tidur di bale-bale. Arjuna pikir Bapak kecapekan. Tapi tadi malam
waktu Arjuna bangun lagi, eh Bapak kok masih tidur di sana ya? Ibu sama
Bapak lagi marahan ya?”
Dewi tampak terkejut dengan perkataan Arjuna.
“Hush… kamu kok ngurusin orangtua? Bapakmu sama Ibu enggak marahan, kok.”
“Bukan ngurusin Bu, tapi Arjuna takut. Temen Arjuna si Arjuna itu dulu
orangtuanya marahan, eh tahu-tahu cerai. Jangan cerai ya, Bu?!”
Dewi hanya menghela nafas sambil menggeleng,
“Bapak sama Ibumu ini ga bakalan cerai. Kamu tenang saja. Bapak memang
dari dulu tidak tidur di kamar. Soalnya panas. Bapak lebih senang tidur
di luar karena sejuk dan dingin. Kamu ga usah takut, Jun.”
Arjuna mengangguk saja. Namun ia jadi tambah heran. Menurut Harun
temannya itu, ngemprut itu kegiatan paling enak. Jadi, pasti hampir tiap
hari suami isteri itu ngemprut. Kecuali kalau perempuannya haid atau
datang bulan. Tapi biasanya datang bulan itu hanya seminggu. Nah, kedua
orangtua Arjuna tidak puasa ngemprut hanya seminggu, tapi sudah dua
minggu. Pasti ada sesuatu yang aneh. Maka, Arjuna tetap mengintip kamar
Ibunya selama sebulan. Jadi dalam sehari, ia mengintip Ibunya dua kali.
Sekali waktu mandi pagi, kedua kali waktu Ibunya tidur. Dan Arjuna
menyadari bahwa kedua orangtuanya tidak pernah tidur bersama!
Setelah mengetahui hal ini, Arjuna yang adalah anak pintar mulai dapat
melihat bahwa sebenarnya hubungan ayah dan Ibunya tidaklah harmonis. Ada
sesuatu masalah dalam keluarganya yang ia sendiri tidak tahu apakah
itu. namun dihadapan Arjuna, kedua orangtuanya tetap berbicara santai
seperti biasa. Hanya saja kini Arjuna dapat menilai bahwa perhubungan
mereka bukanlah hubungan yang intim dan romantis. Lebih seperti seorang
kakak dan adik. Mereka saling menyayangi, namun tidaklah saling
mencintai selayaknya pasangan suami isteri.
Dan Harun pernah mengatakan kepada Arjuna, bahwa lelaki dan perempuan
itu sama saja. Dua-duanya butuh melakukan hubungan suami isteri. Karena
contohnya, Mbak Sari yang suaminya, Mbah Bejo yang sudah kakek-kakek itu
pernah ketahuan warga melakukan hubungan terlarang dengan pemuda dari
dusun seberang. Saat itu heboh sekali. Arjuna juga mendengar bahwa Mbak
Sari itu selingkuh, hanya saja waktu itu Arjuna tidak mengerti, dan
kedua orangtuanya ketika ditanya malah menyuruh Arjuna diam. Barulah
dari Harun Arjuna mengerti bahwa selingkuh itu berarti melakukan
hubungan suami isteri bukan dengan pasangannya, melainkan dengan orang
lain. Dan Mbak Sari selingkuh, karena ia butuh melakukan hubungan seks
sedangkan Mbah Bejo sudah tidak sanggup lagi melakukan itu.
Kini, Arjuna menjadi curiga. Apakah dengan ini Ibunya juga selingkuh?
Untuk beberapa lama, Arjuna akhirnya berusaha mengikuti Ibunya
kemana-mana, tentunya ketika sudah pulang sekolah. Namun Ibunya tidak
pernah keluar rumah kalau tidak perlu. Ibunya hanya pergi mengantar
makanan pada ayahnya. Sesekali mampir di tetangga untuk bertamu, namun
bertamu kepada Ibu-Ibu yang lain. Kalau begitu, kalau perempuan butuh
tapi tak pernah melakukannya bagaimana jadinya?
Harun yang tahu banyak itu malah berkata,
“Kalalu kamu ketemu perempuan yang sudah menikah dan dia sudah tidak
lama begituan sama suaminya, kamu kasih tahu aku, Jun. biar aku dekati.
Perempuan seperti itu pasti gampang dirayu karena nafsunya sudah lama
ditahan-tahan. Kamu kenal perempuan jablay seperti itu?”
Arjuna buru-buru berbohong dan berkata,
“Belum sih. Cuma mau tahu aja, kalau ada perempuan seperti itu harus bagaimana?”
“Ya dirayu donk. Pasti mau deh!”
“Kamu kok tahu sih? Umur kita kan sama!”
“Aku ini kenal sama Zainal. Itu loh, selingkuhannya Mbak Sari. Nah,
Zainal itu pernah cerita tentang perempuan yang jarang dibelai, atau
jablay. Yang penting dideketin, dipuji-puji sama dirayu-rayu deh. Itu
katanya.”
Arjuna mengangguk-angguk. Ia simpan hal ini dalam hatinya baik-baik.
Apakah Ibunya bisa dirayu-rayu sama dia? Berhubung Arjuna masih kecil,
ia belum bisa berfikir baik dan buruk. Orang dewasa tentu tahu bahwa
merayu Ibu sendiri adalah sesuatu yang absurd dan tidak mungkin
dilakukan. Namun, bukanlah salah Arjuna bahwa ia tidak tahu, namun
keadaan lingkunganlah yang membuat Arjuna dewasa pada saat yang tidak
tepat.
BAB TIGA
AKSI-AKSI PERTAMA ARJUNA
Maka keesokkan harinya, Arjuna mulai beraksi. Ia kini tidak malas di
rumah. Ia bantu Ibunya untuk mencuci piring bahkan pakaian sendiri.
Kamar tidurnya selalu rapi bahkan kamar mandi dan dapur dibersihkannya
seminggu sekali. Ibunya tentu senang Arjuna membantunya karena selama
ini untuk merapikan tempat tidur sendiri saja Arjuna malasnya bukan
main. Ketika ditanya Ibunya, Arjuna menjawab,
“Arjuna baru sadar, Ibu capek sekali merawat rumah, anak dan ayah.
Arjuna baru sadar Ibu sayang sama keluarga. Nah, Arjuna memutuskan untuk
membalas kebaikan dan rasa sayang Ibu. Arjuna akan bantu Ibu dan akan
menyayangi Ibu.”
Dewi yang tidak mengetahui intensi dari anaknya, menjadi berkaca-kaca dan terharu. Dipeluknya anak tunggalnya itu lalu berkata,
“Kamu memang anak Ibu yang pintar.”
Sementara Arjuna bagaikan diberikan kado sebelum hari ulangtahun. Baru
kali ini setelah ia mengetahui mengenai seks, Ibunya merangkulnya.
Arjuna tak ingat kapan terakhir kali dipeluk Ibunya, mungkin kelas satu
SD atau dua SD. Tapi kini Ibunya merangkulnya.
Arjuna balas merangkul dengan kencang sambil berkata,
“Arjuna sayang Ibu. Arjuna akan selalu menyenangkan Ibu, jangan sampai Ibu capek atau sedih. Arjuna akan menjaga Ibu selamanya.”
Dewi tambah terharu dan mempererat rangkulannya. Sementara, Arjuna
bagaikan di awang-awang. Saat itu sudah sore hari. Ia membantu Ibunya
mencuci banyak perabotan dan piring. Berhubung mereka cuci piring di
kamar mandi, maka keduanya jongkok sambil mencuci. Suasana hari itu
panas sekali, mungkin karena hujan tidak turun selama berminggu-minggu.
Keduanya berkeringat saat mencuci dan membilas perabotan itu. setelah
selesai, maka barulah kedua Ibu dan anak itu berangkulan.
Kepala Arjuna masih setinggi mulut Ibunya. Ketika Ibunya memeluknya,
hidung Arjuna hinggap di bagian atas dada Ibunya, karena Dewi menarik
kepala Arjuna sehingga dagu Dewi menempel pada ubun-ubun anaknya. Arjuna
dapat mencium bau tubuh Ibunya yang berkeringat itu. Bau tubuh
perempuan dewasa yang belum mandi. Baunya lumayan jelas dan menyengat
hidung, namun bukan bau yang membuat mual, namun justru bau yang membuat
gairah kelelakian bangkit, membangkitkan si rudal scud untuk
bersiap-siap mencari sarang beludru di mana bau itu sangat jelas
memancar, selain dari dua buah ketiak yang jauh di atas.
Kulit Ibunya licin di wajah Arjuna karena keringat. Baik keringat Arjuna
sendiri dan Ibunya kini berbaur. Dapat dirasakan Arjuna, buah dada
Ibunya menekan dadanya sendiri. Ingatan akan bentuknya membuat burung
Arjuna kini menegak sampai seratus persen dan tidak dapat bertambah
panjang lagi. Maka Arjuna membenamkan wajahnya di dada Ibunya, dapat
dirasakan bibirnya menempel di bagian atas kedua payudara Ibunya dan
sedikit bibirnya menempel di sela-sela buah dada itu yang seakan adalah
jurang pemisah kedua gundukan indah.
Tiba-tiba Dewi membeku. Lalu mendorong tubuh anaknya sambil berkata,
“Jun, sekarang kamu mandi dulu. Badan kamu keringetan.”
Arjuna kecewa. Namun ia harus sabar. Ia tahu bahwa usahanya tidak akan
langsung berhasil melainkan keberhasilan akan datang bila ia sabar. Maka
Arjuna bergegas bangkit untuk mandi, sesuai dengan perintah Ibunya.
Untuk selanjutnya, Arjuna terus membantu di rumah. Bahkan tanpa disuruh
ia membantu. Ketika atap bocor, maka Arjuna tanpa diminta
membetulkannya. Ketika pagar perlu diperbaiki, ia segera membetulkannya.
Untuk sebulan kemudian, Arjuna menjadi anak yang berbakti sekali,
menjadikannya tidak hanya disayang Dewi, melainkan bahkan mulai dipuji
oleh Waluyo.
Selama sebulan itu ia tidak pernah berpelukan lagi dengan Ibunya. Maka
Arjuna berpikir apa yang akan menjadi aksinya berikut, karena usahanya
tampak tidak berhasil menambah kedekatannya dengan Ibunya. Akhirnya ia
menemukan suatu akal.
Saat itu Arjuna akan pergi sekolah. Ia telah sarapan dan sudah
berseragam dan menyandang tasnya. Ibunya sedang membereskan bale. Karena
mereka selalu sarapan di sana, berhubung tidak punya meja makan. Arjuna
menghampiri Ibunya dan mencium tangannya seperti kebiasaannya selama
ini. Namun setelah itu ia bertanya kepada Ibunya,
“Bu, kenapa ya, orang indonesia cium tangan orangtuanya ketika mau pergi?”
“Mmmm….. sudah tradisi dari dulu, Jun.”
“Iya, tradisi ini memang bagus, karena menunjukkan rasa hormat pada
orang tua. Namun sepertinya tetap memberikan jarak. Sepertinya susah
sekali untuk menjadi dekat dengan orangtua.”
“Maksud kamu apa sih, Jun?”
“Iya, Bu. Waktu itu Arjuna nonton film barat di kelurahan. Itu loh yang
hari minggu. Film tentang keluarga yang harmonis di Amerika sana.”
“Terus?”
“Di sana mereka bukan cium tangan, lho Bu.”
“Lah? Terus bagaimana?”
“Mereka itu cium pipi kanan kiri. Kalau dilihat, keluarga mereka dekat
sekali. Banyak masalah dalam keluarga diselesaikan dengan mudah dengan
saling berbicara bukan seperti orangtua dan anak, tapi seperti sederajat
begitu. Mungkin itu karena mereka sangat dekat satu sama lain.”
“Itu kan orang Amerika, Jun. kita kan orang Indonesia.”
“Iya sih. Tapi selama sebulan ini, Arjuna bantu Ibu di rumah, Arjuna
merasa kita menjadi semakin dekat. Ga kayak dulu-dulu. Sekarang kita
banyak ngomong, deket sekali, Bu. Nah, Arjuna pikir, Ibu dan Arjuna
sudah mulai berbicara dengan nyaman, seperti sederajat, sudah kayak
orang Amerika itu dan terbukti hubungan kita lebih dekat lagi. Benar
kan, Bu?”
“Betul. Terus?”
“Nah, bagaimana kalau selain cium tangan, Arjuna juga cium pipi Ibu,
siapa tahu nanti kita bisa lebih dekat lagi, Bu. Supaya nanti Ibu lebih
sayang Arjuna, dan Arjuna lebih sayang Ibu?”
Dewi berpikir sebentar. Namun, berhubung Dewi tidak tahu niat Arjuna
sebenarnya, maka akhirnya ia memutuskan untuk memperbolehkan Arjuna.
Segera Arjuna mencium kedua pipi Ibunya dengan cepat, agar tidak
menimbulkan curiga. Lalu Arjuna segera berangkat sekolah. Akhirnya,
kegiatan ini menjadi rutinitas setiap pagi. Arjuna akan cium tangan
Ibunya, lalu mencium kedua pipi Ibunya. Minggu-minggu pertama ciuman
Arjuna hanya sekejap. Namun makin lama, ciuman itu sedikit dilamakan
oleh Arjuna. Dari hanya sepersekian detik, pada akhir minggu ketiga
ciuman itu menjadi satu detik.
Dewi senang juga dalam hatinya. Anaknya menunjukkan kasih sayang
padanya. Arjuna selalu membantu di dalam rumah, selain itu Dewi juga
merasa bahwa perkataan Arjuna benar, bahwa dengan mencium pipi, mereka
menjadi lebih dekat satu sama lain. Dewi menjadi lebih banyak bercerita
kepada Arjuna mengenai rumah dan permasalahannya. Tentu saja bukan
permasalahan seks dengan suaminya yang sudah lama tak pernah menafkahi
secara batin, namun mengenai permasalahan rumah lainnya. Terkadang pula
Dewi curhat bila ada permasalahan dengan tetangga. Makin lama mereka
seakan menjadi teman yang dekat.
Suatu hari, sekitar dua bulan setelah ciuman pertama Arjuna, Dewi
memutuskan untuk membelikan baju baru untuk Arjuna dari uang tabungannya
selama ini. Walaupun tidak menghabiskan tabungan, namun cukup mahal
juga kalau dalam ukuran petani kecil. Arjuna gembira sekali, dipeluknya
Ibunya, lalu diciumnya pipi Ibunya, kali ini sekitar dua detik dan
ciuman Arjuna ketika dilepas terdengar suara kecupan. Dewi kaget, namun
ketika dilihatnya wajah Arjuna sangat gembira, Dewi tidak curiga
apa-apa. Mulai saat itu Arjuna mencium Ibunya dengan memberikan kecupan
saat melepaskan bibirnya. Dan mereka menjadi lebih dekat lagi.
Beberapa hari kemudian, saat hari minggu dan banyak orang desa menonton
disana, Dewi memutuskan untuk menonton juga. Kali ini film barat
mengisahkan tentang perjuangan seorang Ibu membesarkan keluarganya tanpa
suami. Dan yang lucu, anak lelaki perempuan itu yang berusia sekitar
enam tahunan, mencium bibir Ibunya ketika akan pergi bermain.
Ketika mereka pulang, mereka membahas hal ini. Saat itu mereka sudah
selesai cuci piring dan telah selesai pula menaruh perabotan dan piring
di rak piring di dapur. Waluyo entah pergi ke mana, karena biasanya hari
minggu ia pergi sampai waktu makan malam.
“Tuh, kan bu. Orang Amerika cium anaknya juga. bagaimana kalau kita juga cium seperti mereka, di bibir? Boleh kan, Bu?”
Hanya Waluyo yang pernah mencium Dewi di bibir. Namun itu ciuman yang
penuh nafsu dan lama. Dewi berfikir kalau hanya sebentar apalagi dengan
anak sendiri tentunya tak masalah. Malah hubungan mereka mungkin
bertambah kental. Maka Dewi menjawab dengan mengangguk.
Arjuna lalu mengecup kedua pipinya seperti biasa lalu mengecup bibir
Dewi. Entah kenapa Dewi merasakan sesuatu yang aneh. Bibir Arjuna begitu
hangat ketika menempel pada bibirnya. Nafas Arjuna tercium bersih, beda
dengan nafas perokok Waluyo. Hanya 2 detik dan Dewi tiba-tiba saja
merasa bahagia. Mungkin Arjuna benar, pikir Dewi. Karena ia merasa
menjadi sangat dekat dengan anaknya itu.
Sementara itu Arjuna berteriak senang dalam hatinya. Rupanya aksi dia
berhasil. Tentunya bila ia tetap sabar, maka apapun bisa dilakukan.
Arjuna memegang tangan kiri Ibunya, lalu menariknya sambil berkata,
“Aku punya hadiah untuk Ibu. Aku mau kasih Ibu sekarang…”
Ia menarik Ibunya ke dalam kamarnya. Selama ini Arjuna menabung selama
beberapa bulan ini. Selama usahanya dalam merayu Ibunya. Pada hari sabtu
kemarin, ia bertemu dengan pedagang keliling yang menjual pakaian.
Kebetulan ia melihat daster. Daster itu jenisnya menggunakan karet
sehingga dapat melar, namun ukurannya lebih kecil satu nomer untuk
Ibunya yang lumayan tinggi itu, bila dipakai Ibunya tentu akan
memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah tanpa menyebabkan robek.
Dibelinya daster itu, dikatakan Arjuna bahwa ia mau beli kado untuk
teman sekolah. Padahal untuk Ibunya.
Arjuna mengambil daster itu dari lemari sambil berkata,
“Ibu kan ga pernah punya daster kayak tetangga. Selama ini Arjuna
perhatikan Ibu Cuma pakai kain kalau mau tidur. Nah, Arjuna bela-belain
beli ini dengan menyisihkan uang jajan Arjuna. Arjuna ga jajan selama
empat bulan, lho bu.”
Ibunya menjadi terharu. Dicobanya daster itu dengan menempelkannya
didepan tubuhnya, dan ternyata tidak sama dengan ukuran tubuhnya. Daster
itu bermodel rok di atas lutut, namun karena ukurannya kecil, jatuhnya
tepat di tengah antara pantat dan lututnya. Untung saja ada karetnya
sehingga bila dipaksa dipakai tidak akan robek.
“Ibu ga suka, ya?” tampak wajah Arjuna menjadi sedih. Dewi berfikir
mungkin karena Arjuna melihat reaksi dari dirinya yang terkejut.
“Oh, Ibu suka,” katanya untuk menghIbur Arjuna.
“Ibu pakai ya nanti malam? Udah Arjuna cuci tuh…”
Dewi hanya mengangguk. Namun ia menjawab,
“Ibu pakai, nanti kalau Bapakmu sudah selesai makan.”
Itu berarti kalau Bapak tidak masuk rumah lagi, pikir Arjuna. Tentunya
Ibunya takut kalo Bapaknya melihat Ibunya memakai daster kecil sehingga
membuat tubuh menjadi seksi.
“Arjuna boleh lihat ya? Soalnya Arjuna bangga kalau Ibu memakai pemberian Arjuna.”
Dewi hanya mengangguk pelan.
Malamnya, ketika Waluyo telah merebahkan diri di bale-bale, Dewi masuk
kamarnya. Arjuna sudah siap di atas lemari mengintip Ibunya. Ibunya
membuka kainnya sehingga hanya memakai kutang dan celana dalam. Lalu
dipakainya daster itu. Daster itu tidak bertali dan menunjukkan sedikit
bagian dada dan agak banyak bagian punggung. Ketika bercermin, Dewi
melihat bahwa tali BH nya menyembul keluar, dan di bagian punggung Bhnya
terlihat sehingga tampak tidak begitu enak untuk di lihat.
Dengan cekatan tanpa membuka daster, Dewi membuka Bhnya dan menaruhnya
di tempat tidur. Barulah dapat dilihat seorang perempuan seksi memakai
daster, dengan pentil terlihat menyembul dari balik kain dasternya. Dewi
merasa sedikit malu, karena yang dilihat di cermin tampak seperti bukan
perempuan baik-baik, namun di lain pihak ia merasa amat seksi sehingga
ia cukup lama bercermin dan melihat keadaannya dari berbagai sudut.
Arjuna yang tak sabar segera turun dari lemari dan mendatangi kamar
Ibunya. Dewi terkejut ketika didengarnya pintu kamar diketuk. Apakah
suaminya mau masuk? Namun didengarnya Arjuna memanggilnya perlahan, maka
Dewi membuka pintu.
“Wah….. Ibu cantik sekali,” kata Arjuna ketika melihat Dewi, “ dan
Arjuna bangga Ibu menjadi cantik karena pemberian Arjuna. Kok Arjuna
baru tahu ya, kayaknya Ibu ini wanita tercantik di desa kita.”
Dewi merasa jengah namun bahagia juga. Ia tidak curiga maupun heran,
karena dipikirnya anaknya memuji dia karena sayang saja. Maka Dewi
memeluk Arjuna sambil mencium pipi kirinya.
“Terimakasih ya, Jun.”
“Ibu, kok Cuma pipi? Kan kita cium bibir.”
Dewi kemudian mencium bibir Arjuna.
“pipi kanan belum.”
Dewi mencium pipi kanan Arjuna.
“sekarang giliran Arjuna, karena Ibu mau memakai pemberian Arjuna, maka Arjuna juga sangat berterima kasih.”
Arjuna mencium kedua pipi Ibunya. Kali ini sudah tiga detik. Lalu
diciumnya bibir Ibunya. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik..
Dewi merasakan tubuhnya hangat karena ciuman bibir Arjuna yang hangat
seakan menjalar ke seluruh badannya. Setelah lima detik Arjuna
melepaskan bibirnya.
“Bu?”
“Ya?” jawab Dewi dengan suara sedikit serak.
“Arjuna sayang banget sama Ibu. Boleh kan kalo Arjuna mencium Ibu kapan saja?”
“Maksud kamu?”
“Maksudnya ga hanya waktu pamit saja. Soalnya Arjuna pengen kasih liat bahwa Arjuna sayang sama Ibu.”
“Boleh saja.”
Arjuna kemudian mencium bibir Ibunya lagi. Mereka berangkulan semakin
erat. Lalu setelah lima detik, Arjuna melepaskan bibirnya dan
rangkulannya dan pamit untuk tidur. Sebenarnya ia buru-buru pergi karena
tidak mau membuat Ibunya curiga dan selain itu ia ingin masturbasi di
kamar.
Ketika Arjuna bangun, Ibunya sedang menata piring untuk sarapan di
bale-bale. Tubuhnya membungkuk ke depan. Arjuna menyapa Ibunya, lalu
mencium pundak Ibunya selama lima detik. Ia mencium bau ketiak Ibunya
secara jelas.
“Ih ngapain kamu cium pundak Ibu? Lagian Ibu kan belum mandi.”
“Katanya Arjuna boleh cium kapan aja. Dan biar Ibu belum mandi tetap aja wangi, kok.”
“bau gini kok wangi? Ngaco!”
Ibunya lalu duduk di pinggir bale-bale. Arjuna yang pintar itu segera duduk di sebelahnya.
“Untuk Arjuna sih bau badan Ibu itu wangi. Ga percaya?”
Arjuna mengangkat tangan Ibunya lalu membenamkan wajahnya di ketika
Ibunya yang lembab. Hidungnya dibelai bulu ketiak halus namun tidak
lebat milik Ibunya. Bau tubuh Ibunya kini menyerang hidungnya dan
menguasai otaknya.
Ibunya yang kegelian menarik tubuhnya ke samping dan tertawa sambil berkata,
“dasar bocah gemblung! Makan sana!”
Maka Arjuna makan dengan lahap. Setelah itu, seperti biasa, ia mencium
pipi dan bibirnya Ibunya. Kali ini proses ciuman di bibir sudah lima
detik. Ibunya mendorong kepala Arjuna perlahan dan berkata,
“Nanti kamu terlambat sekolah.”
Arjuna hanya tertawa, lalu mencium ketek Ibunya. Namun karena sedang
tertutup, maka ia mencium bagian kiri atas dada Ibunya dan tangan
kirinya tepat ditempat di mana ketek itu berada.
“Mending Ibu jangan mandi deh sebelum sarapan,” kata Arjuna lalu bergegas berangkat ke sekolah.
Setelah itu Ibunya tidak pernah mandi sebelum selesai sarapan yang
menyebabkan Arjuna mengintip Ibunya mandi hanya pada sore hari saja. Ada
sedikit penyesalan, namun setidaknya dia dapat mencium Ibunya tidak
hanya pipi dan bibir.
Aktivitas cium Arjuna menjadi bertambah. Kini bilamana mereka berduaan
saja, maka Arjuna mencium pundak Ibunya, pipinya dan bibirnya.
Pertama-tama hanya sekilas, namun karena Ibunya tidak marah, maka
menjadi lebih lama. Namun untuk tidak mencurigakan, maka ciuman itu
dilancarkan sekali-kali dan belum beruntun. Arjuna segera mencari akal
agar dapat menciumi Ibunya secara beruntun.
BAB EMPAT
PERKEMBANGAN BIRAHI
Suatu ketika mereka selesai makan siang, Ibunya duduk di pojok bale
melihat ke arah luar rumah sementara Arjuna duduk di samping Ibunya.
Ibunya sesekali menoleh ke belakang sementara berbicara dengan Arjuna
mengenai pengalaman masa kecilnya di desa yang sedih karena keluarganya
miskin. Dewi rupanya sedang mengenang masa-masa sulit di waktu yang
telah lalu.
Arjuna memeluk Ibunya dari belakang dan berkata,
“Sedih sekali ya waktu itu….” lalu mulai mencium pundak Ibunya perlahan.
Seperti biasa, Ibunya memakai kain yang dilibat di atas dadanya, BH
hitamnya terlihat pada bagian tali. Ibunya terus berbicara, lalu Arjuna
mencium lagi. Kemudian lagi. Jarak antara ciuman sekitar sepuluh detik.
Makin lama secara perlahan jarak itu mengecil, hingga akhirnya Arjuna
mulai menciumi pundak Ibunya berkali-kali bagaikan ayam sedang mematuki
beras di tanah sementara Ibunya berbicara. Akalnya berbuah hasil juga.
Kini Arjuna dapat menciumi pundak Ibunya secara beruntun.
Setelah beberapa lama, sekitar lima menitan Arjuna mencumbu pundak
Ibunya, barulah anak itu sadar bahwa Ibunya telah berhenti bicara.
Arjuna buru-buru mengajak ngomong agar tidak dicurigai.
“Bu?”
“Ya?”
“Kalau sekarang, apakah Ibu masih merasa sedih. Kita kan juga bukan keluarga yang kaya….”
“Tidak, Jun. kalau dibanding dahulu, sekarang ini jauh lebih baik. Ibu
senang hidup seperti sekarang. Makan dan tidur cukup, walaupun enggak
berlebihan. Udah dulu ngomong-ngomongnya, sebentar lagi sore nih. Ibu
belum masak sama beres-beres.”
Dewi beringsut pergi dari bale-bale. Arjuna kecewa, namun kekecewaannya
sedikit terobati karena ia kini bisa menciumi Ibunya tidak hanya di pipi
dan bibir, namun di pundaknya pula tanpa kena marah. Setidaknya ada
kemajuan pada hari ini.
Keesokan harinya, Dewi duduk di pinggir tempat tidur Arjuna lalu
membangunkan Arjuna untuk mandi pagi. Arjuna terbangun, melihat Ibunya
menatapnya dan hendak berdiri. Sambil beringsut bangun, Arjuna memegang
tangan kanan Ibunya mengunakan tangan kirinya dan berkata,
“Cium dong.”
“Ah, kamu belum mandi sama gosok gigi.”
“Ya udah pundak aja.”
Arjuna mencium pundak Ibunya selama beberapa detik.
“Udah ya. Kamu kan harus mandi dan sarapan.”
“Yaaaah…. Baru sebentar juga.”
Lalu Arjuna menciumi lengan Ibunya. Lalu dengan tangan kirinya yang
masih memegang pergelangan tangan kanan Ibunya, ia angkat tangan Ibunya
dan ditaruh di pundak kirinya, lalu dibenamkannya mukanya di ketiak
Ibunya yang belum mandi itu. Dihirupnya bau tubuh Ibunya dalam-dalam.
“Arjuna… Ibu geli. Udah donk. Kamu belum mandi dan sarapan. Nanti kamu terlambat sekolah.”
Arjuna menjawab tanpa menarik wajahnya. Sehingga ia berbicara masih
dengan hidung yang menempel pada bulu ketiak Ibunya yang lembab,
“Yaaaah…… sebentar banget. Arjuna paling seneng menghirup bau badan Ibu
yang belum mandi. Harum banget sih. Besok bangunin Arjuna lebih pagi
lagi ya?! Lagian Ibu kok jam segini mulu bangunin Arjuna?”
“Ibu kan harus cuci perabot dulu sehabis Ayah kamu sarapan. Biar cepat bersih rumah.”
Arjuna justru memeluk Ibunya, tangan kanannya tepat dibawah payudara
Ibunya sehingga merasakan gundukan bukit kembar. Ia menghirup
dalam-dalam lagi aroma ketek Ibunya itu. Kata Arjuna setelah beberapa
saat,
“Arjuna ga mau lepasin. Lebih baik hari ini ga usah sekolah aja.”
“jangan donk. Kamu mau ngapain di rumah?”
“ciumin ketek Ibu aja.”
“ngaco kamu. Ketek bau diciumin terus.”
“Harum kok. Pokoknya Ibu harus janji besok bangunin Arjuna sebelum cuci perabotan.”
“Terserah kamu deh.”
Dengan semangat 45, Arjuna tiba-tiba membuka mulutnya lalu menjulurkan
lidahnya ke ketek Ibunya. Dikenyotnya bulu ketek Ibu secara cepat.
Ibunya kaget. Namun belum sempat Ibunya bereaksi, Arjuna sudah
melepaskan dirinya dari Ibunya lalu bergegas ke kamar mandi. Dewi
terkaget, namun melihat anaknya sudah bergegas mandi ia tidak berkata
apa-apa lagi.
Setelah mandi secara cepat, Arjuna mendapatkan Ibunya sedang di
bale-bale mempersiapkan makanan untuk sarapan. Arjuna menghampiri Ibunya
dan duduk disampingnya. Dewi tersenyum. Dari samping, Arjuna
melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang Ibunya. Lalu seperti biasa,
Arjuna mencium kedua pipi Ibunya masing-masing sekitar tiga detik
diakhiri dengan kecupan yang menimbulkan bunyi. Lalu mereka berciuman di
bibir. Biasanya sekitar lima detik. Tapi hari itu setelah lima detik,
Arjuna memang melepaskan bibirnya sehingga menimbulkan suara kecupan
lagi, namun kembali menempelkan bibirnya. Setelah lima detik Arjuna
mengakhiri lagi dengan kecupan, namun kembali diciumnya bibir Ibunya.
Akhirnya setelah kecupan ketiga, Dewi mendorong kepala anaknya dan berkata,
“Kamu semangat banget hari ini cium Ibu.”
“Habis, Arjuna semakin hari semakin sayang Ibu.”
“Ya udah, makan sana.”
“Tapi ketek Ibu kan belum….”
“Nanti kamu kesiangan. Lagian, kok kamu seneng banget ciumin ketek Ibu?”
“Kan udah Arjuna bilang, Arjuna suka sekali sama bau badan Ibu yang
belum mandi. Karena inilah bau badan Ibu yang asli. Ga ada bau tambahan
kayak sabun. Kalo mencium bau badan Ibu ini rasanya Arjuna semakin dekat
sama Ibu.”
“Ya udah. Jangan lama-lama. Nanti kamu kesiangan.”
Dewi mengangkat tangan kirinya ke atas. Tangan yang dekat dengan Arjuna. Arjuna berkata,
“Ibu nanti pegal. Ibu tiduran aja sebentar.”
“Aduh. Sempit di bale-bale. Banyak perabotan. Piring, periuk sama gelas.”
“Yah…. Di kamar Ibu aja, ya? Sebentar.”
Pertama-tama Ibunya enggan, namun Arjuna yang pintar itu memelas dan
dengan alasan ingin lebih dekat dan mengenal Ibunya, dan salah satu
caranya adalah mengenal bau tubuh Ibunya, selain itu ciuman juga akan
semakin mendekatkan juga menambah rasa sayang mereka, akhirnya Ibunya
mengalah. Selain itu, Dewi setiap kali mendengar Arjuna berbicara
mengenai ciuman, ada perasaan aneh di dalam dadanya. Dan mungkin karena
memang Dewi sendiri ingin dekat dengan anak tunggalnya itu, makanya Dewi
tidak pernah keberatan anaknya menciumi dirinya.
Setelah menutup makanan di bale-bale dengan tudung saji. Mereka berdua
masuk kamar Dewi. Dewi rebah di sana di tengah ranjang. Arjuna rebah
disampingnya dan mulai menciumi ketek kiri Ibunya. Berhubung Ibunya
bersikeras bahwa hanya lima menit saja, maka Arjuna memutuskan untuk
tidak hanya mengeksplorasi ketiak Ibunya.
Arjuna mulai menciumi ketek kiri Ibunya. Sesekali dipagutnya bulu ketiak
Ibunya. Kini Arjuna mulai hafal bau tubuh Ibunya. Bahkan ketika
masturbasipun bau tubuh Ibunya teringat di benaknya. Ciuman di ketek itu
dilanjutkan Arjuna dengan mulai mencium ke arah dada Ibunya.
Ketika Dewi merasakan bibir Arjuna mulai meninggalkan ketiaknya dan kini
berjalan menyusuri pinggir ketiak dan akhirnya menyusuri bagian atas
dadanya, ia berkata,
“Jun, kamu ngapain?”
“Mau cium ketiak Ibu sebelah kanan,” kata Arjuna lalu meneruskan
perjalanan bibirnya itu yang kini sudah di tengah bagian atas tetek
Ibunya yang terbuka dan tidak terbungkus kain. Dewi merasakan kulitnya
bagai tersengat listrik arus rendah, dan kepalanya bagaikan berputar.
“Bu?” kata Arjuna tiba-tiba.
“ya?”
“Kemarin ada kakak kelas yang bilang bahwa ada cewek yang manis dan ada yang tidak. Ibu termasuk yang manis, kan ya? Pasti deh.”
“Ah, Ibu itu biasa aja. Gak terlalu manis.”
“Ah, Ibu bohong. Coba deh…..” kata Arjuna dan tiba-tiba Arjuna menjilat
payudara kiri bagian atas Dewi. Dewi tersentak kaget dan menarik nafas
cepat ketika merasakan lidah muda Arjuna menyapu payudara kanannya itu.
“Wah. Benar, kan. Ibu rasanya manis.”
Dewi harus menarik nafas dulu baru menjawab,
“Kamu itu. Jelas-jelas Ibu asin begini karena belum mandi.”
“enggak kok. Nih buktinya…..” Arjuna menjilat lagi, kini agak ke tengah, “ tuh kan. Manis lho, Bu.”
Dewi kini merangkul kepala Arjuna dengan tangan kirinya secara perlahan.
“Udah, Jun. nanti kamu kesiangan.”
Namun Arjuna kembali menjilat dada Ibunya, kini lembah diantara kedua
bukitnya yang disapu oleh lidah Arjuna. Arjuna yang mulai berahi kini
semakin berani. Sebelumnya ia menjilat Ibunya sekali-sekali. Kini
setelah lidahnya mencapai pinggir bukit sebelah kanan Ibunya, ia mulai
menjilati daerah itu dengan sapuan lidah yang cepat.
Dewi merasa tiba-tiba dilanda birahi. Dan ia tiba-tiba merasa takut.
Mengapa ia birahi pada anak sendiri? Maka ia segera mendorong Arjuna dan
berkata,
“Udah, Jun. kamu bakal kesiangan.”
“Yaaah…… ketek kanan Ibu belum….”
“Udah, nanti aja…..”
Arjuna sebenarnya sudah birahi dan tidak ingin menghentikan aksinya.
Namun ia tahu bila ia bersikeras, maka Ibunya akan marah. Oleh karena
itu, ia segera menghentikan aksinya lalu tersenyum dan berkata,
“Ibu udah janji, lho.”
Dengan perkataan itu ia meninggalkan kamar Ibunya untuk sarapan pagi.
Dewi tidak tahu harus berbuat apa-apa. Karena hal yang dimulai untuk
membuat ia dan anaknya menjadi dekat, kini seakan mulai bergerak ke arah
yang lain. Dewi mulai merasakan nafsu birahi ketika anaknya mulai
menjilati dada atasnya. Ia bingung. Ia tidak ingin merasakan birahi
kepada anaknya sendiri, ia harus menolak dan melarang Arjuna bila ingin
menjilatnya lagi. Tapi ia takut bila dilarang, maka kedekatan mereka
yang sudah terjadi, akan lenyap begitu saja.
Dewi adalah perempuan desa yang mempunyai pikiran yang sederhana. Tidak
ada sedikitpun kecurigaannya kepada anaknya. Ia tidak berfikiran bahwa
memang sebenarnya anaknya hendak membuatnya birahi. Ia percaya, Arjuna
memang ingin dekat dengannya. Jadi, apa yang harus dilakukan olehnya
agar tidak memiliki nafsu itu?
Siang hari Arjuna pulang. Dewi sedang di bale-bale termenung memikirkan
segalanya. Seperti biasa Arjuna duduk di sampingnya lalu mencium dan
mengecup pipi dan bibirnya. Namun kali itu Arjuna berkata,
“Bu, akhir-akhir ini Arjuna merasa Ibu sudah ga sayang sama Arjuna lagi.”
“Loh, kok kamu berkata begitu?”
“Pertama. Tadi pagi Ibu mengusir Arjuna dari kamar Ibu…”
“Tapi Jun. kamu kan harus sekolah. Ibu ga mau kamu terlambat dan dihukum,” sela Ibunya.
“Dengerin Jun sampai habis dulu, dong. Pertama, Ibu mengusir Jun dari
kamar tidur. Kedua, selama ini Jun mengecup Ibu, Ibu hanya diam dan
tidak mengecup balik. Arjuna takut sebenarnya Ibu tidak ingin dekat
dengan Jun. padahal Jun sangat ingin dekat sama Ibu.”
“Ibu juga ingin dekat sama Jun. benar, kok.”
“Kalau gitu Ibu juga kecup dong.”
Arjuna kemudian mencium bibir Dewi lagi. Dikecupnya Ibunya, namun Ibunya terlambat mengecup balik.
“Tuh, kan.”
“Abis kamu cepat banget.”
“Kan harusnya kerasa, setiap kali mau Jun kecup, bibir Jun kan menekan bibir Ibu. Coba lagi deh.”
Arjuna mencium bibir Ibunya lagi. Kali ini Ia merangkul Dewi. Dewi
memusatkan perhatian pada tekanan bibir Arjuna pada bibirnya. Dirasanya
bibir anaknya itu menekannya, maka Dewipun menekan bibirnya untuk
membalas kecupan itu. Akhirnya mereka berdua mengecup dan karena kedua
bibir saling mengecup, bunyi yang dihasilkan lebih keras dari suara
kecupan sebelum-sebelumnya.
“Nah, gitu dong. Ini kan artinya Ibu juga sayang seperti Arjuna sayang
Ibu. Tapi Ibu masih kaku nih. Harus banyak-banyak dilatih. Kalau
menyamping kayak gini rasanya pegal, Bu. Di kamar Ibu aja ya? Sambil
rebahan. Arjuna tadi abis olahraga.”
“Makan siang dulu, Jun.”
“Sebentar aja, kok.”
Dewi merebahkan dirinya di kasur. Arjuna secara cepat sudah berbaring
pula di sampingnya. Untuk dapat berciuman mereka berbaring menyamping.
Dengan tangan kirinya, Arjuna merangkul Ibunya, dengan bujukan Arjuna
Ibunya merangkul pundak anaknya itu. Karena seharusnya dua orang yang
saling menyayangi tidak canggung saling memeluk. Mereka berciuman dan
saling mengecup.
Dewi merasakan kecupan Arjuna yang basah, karena sebelum berciuman
Arjuna menjilat bibirnya sendiri untuk membasahi bibirnya itu. Arjuna
menyuruh Ibunya juga untuk membasahi bibirnya sendiri, agar enggak
kering. Soalnya kalo kering ga enak, kata Arjuna.
Bibir Arjuna terasa hangat dan basah. Ciuman dan kecupan Arjuna
pertama-tama terasa perlahan dan lambat. Makin lama tekanan bibir itu
makin diperkeras. Tak sadar, Dewi mengikuti irama permainan bibir
anaknya itu. Birahi Dewi kini mulai menanjak lagi.
Sejenak Arjuna menghentikan ciumannya dan Dewi sedikit kecewa. Kata Arjuna,
“Bibir ibu kering lagi tuh. Biar Arjuna yang basahin deh.”
Lalu Arjuna mencium Dewi lagi, namun kini dirasakan lidah Arjuna menyapu bibirnya. Dewi mengecup lidah itu.
“Sekarang ibu yang membasahi bibir Arjuna,” kata remaja itu.
Dengan kaku Dewi menyapu lidahnya ke bibir anaknya sekali. Namun Arjuna
menyuruh ibunya terus membasahi bibirnya. Akhirnya Dewi mulai menjilati
bibir Arjuna secara perlahan. Tiba-tiba Dewi merasa bibir Arjuna
menjepit lidahnya secara perlahan. Listrik birahi tiba-tiba menyetrum
kemaluannya sehingga kini mulai basah dan lututnya menjadi lemas.
Dijulurkannya lagi lidahnya ke mulut anaknya dan Arjuna mengenyot lidah
ibunya itu dengan perlahan, membuat Dewi terbuai oleh nafsu birahi
sehingga kini ia mendekap kepala anaknya. Dewi kini membalas mengenyoti
bibir Arjuna.
“Jilatin lidah, Bu,” kata Arjuna sambil mengulurkan lidahnya. Dewi lalu
membalas dengan mengeluarkan lidahnya. Lidah mereka menari-nari, menekan
dan menjilati satu sama lain. Air liur mereka bercampur di mulut
mereka. Arjuna kemudian mengecup bibir ibunya yang mengecup balik.
Sesaat mereka saling berciuman dan mengecup, lalu mereka mulai lagi adu
lidah. Kadang mereka mengenyot lidah secara bergantian, kadang saling
mengenyot bibir. Keringat mereka mulai deras membasahi tubuh mereka.
Arjuna tahu kapan harus berhenti. Dia pikir mungkin saja sekarang ia
bisa menggauli ibunya, tapi prosesnya terlalu cepat. Ibunya harus secara
perlahan menginginkannya. Bila terlalu cepat, maka mungkin hubungan ini
akan terjadi sekali saja, sedangkan Arjuna ingin ibunya menjadi
miliknya selama-lamanya.
Maka Arjuna lalu menghentikan aksinya. Lalu berkata,
“Arjuna senang sekali. Kini kita udah sangat dekat. Yang kurang Cuma cium ketek aja.”
Ibunya yang terengah-engah hanya memejamkan matanya. Beberapa saat
kemudian ibunya membuka mata lalu mengangkat kedua tangannya. Arjuna
kemudian menjilati ketiak kiri ibunya yang kini sudah basah oleh
keringat dan sudah mengeluarkan bau badan lagi. Ibunya menggelinjang
kegelian namun hanya tertawa tanpa melarang. Setelah beberapa menit,
maka ketek sebelahnya lagi dilahap oleh Arjuna, sehingga kini kedua
ketek itu basah oleh keringat Dewi sendiri dan air liur anaknya itu.
Setelah itu Arjuna menghentikan aksinya.
Malam itu ada perubahan di rumah. Ayah Arjuna, Waluyo, pulang dengan
batuk-batuk. Ketika pulang maka Waluyo mengajak Dewi ke kamar dan mereka
berbicara lama. Arjuna mengintip, mungkin kali ini mereka akan
melakukan hubungan seks. Ternyata mereka berembug, bahwa Waluyo harus
tidur di dalam agar tidak bertambah parah sakitnya. Yang anehnya,
keduanya membicarakan mengenai apakah harus tidur berdua atau tidak.
“Aku sudah tidak bisa tidur dengan kamu lagi, Wi. Kamu tahu itu,” kata
Waluyo,” maka aku tidak bisa berbagi ranjang. Mungkin sebaiknya aku
tidur di kamar Arjuna.”
Hal ini menambah senang Arjuna. Kalau mereka tidur bersama dan berhubungan seks lagi, rencana Arjuna akan hancur total.
“Nanti Arjuna ketularan. Jangan dong, Mas.”
“Ya sudah. Suruh dia tidur di bale-bale saja.”
“Jangan, Mas. Nanti dia juga sakit kena angin malam. Dia kan ga biasa tidur di luar kaya Mas.”
“Terus bagaimana?”
“Biar Arjuna tidur sama aku saja di kamar depan.”
Waluyo menghela nafas. Akhirnya mereka setuju. Arjuna merasakan seperti
di surga ketujuh. Usaha-usahanya pasti akan berhasil dengan sukses
dengan kemungkinan di atas 90%, pikirnya.
Jam sembilan malam biasanya Arjuna masuk kamar. Sementara ibunya masuk
kamar pukul sepuluh atau lebih. Kini mereka berdua berbagi kamar, Arjuna
mengharapkan ibunya seperti biasa akan berganti daster. Maka
ditunggunya ibunya dengan cara ia pura-pura belajar dengan membaca di
kamar tidur. Selain itu, kini ia telah siap dengan memakai sarung tanpa
CD dengan kaos kutang saja.
Ketika ibunya masuk, ibunya berkata,
“Sudah. Ayo tidur.”
Arjuna meletakkan bukunya di meja di samping tempat tidur. Lalu menunggu
dengan harap-harap cemas. Namun, ibunya malah naik ke tempat tidur.
“Loh? Selama ini ibu sudah bohongin Arjuna ya?”
“Maksud kamu?”
“Arjuna sudah beliin ibu daster, ternyata tidak dipakai.”
Padahal Arjuna tahu ibunya selalu memakai daster. Cuma mungkin sekarang
ia agak risih karena tidur bareng anaknya sendiri mengenakan daster yang
kecil itu. Dewi jadi bingung harus bagaimana. Namun karena takut
anaknya marah, maka ia bilang bahwa ia selalu pakai, dan hari ini lupa
karena mengurusi bapaknya yang sakit.
“Ya sudah. Kamu balik badan dulu. Ibu mau pakai daster.”
“Emangnya kenapa, Bu?”
“Ibu kan malu.”
“Malu? Kalo sama orang lain boleh dan harus malu. Tapi sama anak sendiri masa malu, bu?”
Dewi menjadi serba salah. Tapi dia selalu kalah debat sama anaknya.
Maka, ia membuka lemari di mana tergantung daster itu. Dibukanya
kainnya. Arjuna segera ngaceng melihat tubuh ibunya yang hanya
berbalutkan BH dan celana dalam putih. Tubuh ibunya yang sudah sering
dilihatnya itu tampak semakin menggiurkan bila dilihat langsung tanpa
melalui lubang intip.
Ketika ibunya telah selesai memakai daster dan membalikkan badannya Arjuna berkata lagi,
“Ibu. Kok kelihatannya jelek ya daster itu jadinya, karena ada tali BH di balik daster.”
“Iya, emang keliatan jelek.”
“Jadi selama ini ibu selalu pakai BH di balik daster?”
Dewi terdiam sebentar, namun karena dia adalah orang kampung yang jujur,
akhirnya diberitahukanlah kepada anaknya bahwa sebenarnya ia tidak
pernah pakai BH di balik daster selama ini.
“Wah, kalo gitu jangan pakai BH dong, Bu. Masa Ibu keliatan aneh gini.
Ibu sendiri merasa jelek kalau pake BH. Arjuna kan mau ibu terlihat
bagus memakai daster pemberian Arjuna. Kalo kelihatan jelek, Arjuna jadi
sedih dan menyesal jadinya membuat Ibu keliatan jelek.”
Dewi menghela nafas. Akhirnya dengan keahlian seorang perempuan, ia
membuka BHnya langsung tanpa membuka daster. Arjuna agak kecewa karena
dikiranya ibunya akan buka daster dulu. Lalu Dewi merebahkan dirinya di
tempat tidur.
Arjuna tidur menyamping mengarah kepada ibunya sementara Dewi tidur
telentang. Arjuna mengangkat tangan kanan ibunya dan memeluk pinggang
ibunya kemudian menempelkan hidungnya di ketiak kanan ibunya yang
berbulu dan mulai menjilati daerah itu.
Dewi kegelian namun berkata sambil menahan tawa,
“Kamu apaan sih jilat-jilat kayak anjing.”
“Ah ibu….. tadi siang juga kita jilat-jilat lidah kayak anjing juga….”
Dewi merasa jengah dan membiarkan anaknya menjilati ketiak kanannya.
Kemudian sambil berkata bahwa ibunya harum, Arjuna mulai menciumi
pundaknya. Tangan kiri Arjuna mulai menggeser tali daster Dewi perlahan
sambil terus menciumi.
“Kok talinya dibuka?” tanya Dewi.
“Abis….. menghalangi bibir Arjuna. Ga enak kan cium kain.”
Melihat ibunya tidak marah, Arjuna menarik tali itu hingga jatuh dari
pundak ibunya dan meneruskan menciumi pundak dan kini menjalar ke leher.
Dewi otomatis merangkul kepala Arjuna sehingga kini tali yang tadi
jatuh, kembali ke pundaknya. Arjuna mendapat akal, lalu menciumi pundak
ibunya lagi. Tiba-tiba Arjuna berhenti dan berkata,
“Yah…… kena tali lagi, Bu. Talinya balik lagi waktu ibu mengangkat tangan. Cape deh….”
Dewi yang tadinya mulai terangsang jadi menghilang rangsangan itu lalu menjawab enggan,
“Terus kenapa?”
“Ibu pakai kain lagi deh…… biar ga rese…. Biar Arjuna bisa cium pundaknya tanpa kena tali melulu.”
Lalu Arjuna menarik badannya dan duduk di samping ibunya. Dewi merasa
repot sekali. Tadi disuruh pake daster, sekarang disuruh pake kain lagi.
Ribet amat nih anak.
Dewi berdiri ke arah gantungan baju dan membuka dasternya. Arjuna dapat
melihat punggung ibunya yang telanjang. Ketika ibunya mengambil BH,
Arjuna berkata,
“Ga usah bu. Tar Arjuna cium tali BH malah….”
Dewi akhirnya memakai kainnya dan dilipatnya disamping badannya. Arjuna
sebenarnya ingin memeluk ibunya dari belakang sehingga ibunya tidak
sempat memakai kain, namun anak itu berfikir bahwa kini belum saatnya.
Maka dibiarkannya ibunya memakai kain itu. Jangan sampai ibunya tahu
bahwa sebenarnya Arjuna ingin menyetubuhinya.
Dewi merebahkan dirinya di samping Arjuna telentang, sementara Arjuna
dengan sigap memeluk perut ibunya dengan tangan kanan. Lalu mulai
menciumi pundak ibunya lagi. Dewi memeluk kepala Arjuna dengan tangan
kanannya yang tertindih badan anaknya itu sehingga kini posisi Arjuna
agak menindih bagian tubuh sebelah kanan ibunya. Dada kanan Arjuna dapat
merasakan menempel di dada kanan ibunya yang terbalut kain.
Arjuna menciumi pundak kanan ibunya lalu turun ke bagian atas dada ibunya yang menjendol karena tertutup kain.
“Arjuna, “ bisik ibunya,” ibu kok rasanya aneh ya. Kamu itu ciumin ibu kayak gini kok kita jadi kayak sepasang kekasih?”
Arjuna menegakkan kepalanya. Katanya, “Bu. Kita ini lebih dekat lagi
hubungannya dibanding sepasang kekasih. Kita kan ibu dan anak. Maka,
kalau kekasih itu kayak begini, kenapa ibu sama anak ga boleh dekat
kayak begini juga? Kekasih itu saling menyayangi, kan?”
“Iya sih…. Tapi kan beda…..”
“Ibu sayang Arjuna, ga?”
“Ya sayang lah.”
“Arjuna sayang sama ibu. Nah kalau kita sama-sama sayang, bukankah saling mengasihi?”
Dewi terdiam. Hal seperti ini agak berat dipikirkan dalam otak perempuan desa.
Arjuna berkata lagi,
“Kekasih kan berarti orang yang mengasihi. Artinya kalau ibu mengasihi
Arjuna dan Arjuna juga mengasihi ibu, artinya kan kita kekasih ya?”
Akhirnya Dewi berkata, “Aduh, ga tahu deh. Iya kali. Ibu jadi pusing.”
“Nah, ibu sendiri ngaku. Sekarang kita berdua adalah kekasih. Ibu kekasih Arjuna. Iya kan?”
“Iya deh,” kata Dewi.
Arjuna beringsut menindih seluruh tubuh ibunya.
Dewi menghela nafas karena tubuhnya ditindih anaknya lalu bertanya, “kamu mau ngapain?”
“Cium bibir kekasih…”
Arjuna mencium bibir ibunya sambil tangannya diselusupkan di bawah tubuh
ibunya sehingga memeluknya. Dewi secara instingtif memeluk Arjuna dan
mendekap kepala anaknya itu.
Arjuna mulai mengecup-ngecup bibir ibunya dan Dewi pun membalas, karena
Dewi tahu kalau ia tidak mengecup balik maka Arjuna akan protes. Kecupan
bibir mereka mula-mula perlahan, namun makin lama semakin mesra.
Tekanan bibir mereka makin keras dan lama. Situasi memanas karena ciuman
mereka semakin hot dan berani. Tak lama terdengar suara kecupan kecil
susul menyusul ketika bibir mereka saling diadu. Suara kecupan itu makin
lama makin keras dan basah.
Arjuna mulai menjilati mulut ibunya sementara ibunya mengecap-ngecap bibir dan lidah Arjuna.
“Balas jilat dong bu…..”
Dewi menjulurkan lidahnya dengan canggung yang disambut dengan sedotan
bibir anaknya. Lidah Dewi menyapu-nyapu perlahan dan malu-malu,
sementara Arjuna dengan nafsu balas menjilat dan sesekali menyedot lidah
ibunya. Lama-kelamaan birahi Dewi bertambah tinggi sehingga kini
jilatan dan kecupan bibirnya tak kalah serunya dengan anaknya.
Tiba-tiba, karena tidak tahan lagi, berhubung sudah lama tidak dinafkahi
secara batin oleh suaminya, Dewi membalikkan badannya sambil memeluk
erat anaknya sehingga kini Dewi yang menindih anaknya. Di dorongkan
tangannya sehingga pelukan mereka berdua lepas, setengah duduk Dewi
memposisikan selangkangannya sehingga kini menekan bagian bawah tubuh
anaknya. Sarung anaknya telah tertarik hingga kontolnya mencuat, namun
karena diduduki, maka kini posisinya terhimpit. Memek Dewi yang
terbungkus celana dalam kini menekan bagian bawah batang kontol Arjuna.
Ketika dirasakannya posisinya telah tepat, Dewi segera merebahkan diri
lagi lalu dengan buas mencaplok mulut anaknya yang tampak sedikit
terkejut karena tindakannya. Arjuna serasa di surga ke tujuh. Ia sempat
kaget badannya diputar sehingga sekarang ia yang telentang. Namun ketika
ia baru hendak bertindak, dirasakan kontolnya menempel ke sesuatu yang
halus namun basah. Rupanya celana dalam ibunya yang basah oleh cairan
kewanitaan. Tiba-tiba pula ibunya menciuminya lagi.
Dewi harus sedikit melengkungkan tubuhnya karena Arjuna belum mencapai
tinggi badan yang ideal dalam posisi ini. Namun pikiran Dewi tidak
terlalu memperhatikan hal ini. Nafsu birahi perempuan ini sudah
menguasai jalan pikirannya. Sambil menggoyangkan dan menekan pantatnya,
ia merasakan sensasi klitorisnya digeseki sepanjang batang kontol
anaknya yang lumayan besar. Mungkin hampir sebesar burung suaminya. Dewi
menjadi liar bagai binatang buas. Ia mengentoti kontol anaknya walaupun
dibatasi celana dalam sambil menyerang bibir dan lidah anaknya dengan
bibir dan lidahnya sendiri. Birahi yang besar tidak memikirkan apa-apa
lagi selain seks, sehingga ludahnya yang mulai menetes dan kadang
teruntai dari mulutnya ke mulut anaknya tidak lagi diindahkan. Segala
sopan-santun dan norma dilupakan.
Arjunapun menjadi senang. Dilahapnya ludah ibunya dengan rakus bagaikan
minum air surgawi. Ia mengimbangi gerakan selangkangan ibunya dengan
goyangan pantatnya sendiri. Sementara keringat mereka berdua kini telah
membasahi sekujur tubuh mereka.
Tiba-tiba ibunya melenguh keras lalu menekan selangkangannya
dalam-dalam. Arjuna merasakan celana dalam ibunya kini sudah lepek
sekali dan hangat terasa di kontolnya. Ia tiba-tiba merasa lututnya
lemas dan tiba-tiba pula ia ejakulasi. Spermanya menghambur ke segala
arah membasahi perutnya, kain ibunya di bagian perut dan juga celana
dalam ibunya.
Akhirnya ibunya tak bergerak namun masih menindih tubuh Arjuna. Bibir
mereka bersatu kelelahan. Tak lama ibunya membaringkan dirinya di
sebelah Arjuna lagi.
“Maafkan ibu, Jun. ibu sudah lama tidak merasa begini…..”
Arjuna memotong, “ Arjuna sayang ibu. Apapun yang ibu mau, akan Arjuna lakukan. Ibu senang?”
Dewi hanya mengangguk. Mereka diam beberapa saat.
“Tapi ini salah, Jun.”
“ga ada yang salah. Ibu adalah kekasih Jun. itu ibu sendiri yang
mengakui. Kalau ibu senang dengan begini, maka Arjuna ga akan menolak.
Yang penting ibu senang….”
“Tapi…..”
“Ga ada tapi-tapi…… ibu kekasih Jun, kan?”
Dewi mengangguk.
“Ga ada yang perlu dibicarakan lagi. Ga ada yang perlu dimaafkan.”
“Ibu jadi pusing. Ibu tidur dulu…….”
Dewi membalikkan badannya hingga membelakangi Jun tanpa berusaha
membersihkan bajunya maupun tempat tidur dari peju anaknya. Arjuna
memegang pundaknya. Katanya,
“Bu….”
Arjuna takut sekarang ibunya menjadi tak ingin lagi bersama dirinya. Katanya,
“Ibu marah sama Jun?”
Tapi Dewi tidak menyahut. Gawat, pikir Arjuna. Ia merangkul ibunya dari
belakang. Dipanggilnya ibunya lagi. Tapi tetap tak ada jawaban. Harus
ditest, pikir Arjuna. Maka ia mencium punggung ibunya. Tak ada jawaban.
Dicupangnya leher ibunya. Ibunya menggeliat dan mendesah tapi tidak ada
jawaban. Kalau ibu marah dan tak mau lagi, tentu Arjuna akan dibentak,
tapi ibunya diam. Dengan penuh perasaan lega Arjuna memejamkan matanya
dan ia segera tertidur.
Paginya Arjuna dibangukan ibunya yang telah memakai kain yang lain.
Ibunya bergegas pergi namun Arjuna mengejarnya sampai di dapur dan
ibunya sedang merapihkan lemari piring yang seharusnya tidak perlu
dirapikan.
“Ibu marah?”
Dewi hanya menggeleng. Arjuna memeluk ibunya dari belakang. Tidak ada
tanggapan. Arjuna mengenyoti pundak ibunya di bagian belikat sampai
tempat itu bertanda ungu. Tak ada tanggapan. Arjuna menarik tangan
ibunya dengan hati yang kesal. Ibunya tidak berkata apa-apa pula bahkan
ibunya tampak berusaha tidak memandang mata Arjuna. Arjuna membawa
ibunya ke kamar. Arjuna mendorong tubuh ibunya ke atas tempat tidur.
Ibunya duduk di pinggir tempat tidur sambil menunduk. Arjuna duduk di
tengah tempat tidur di sebelah ibunya, lalu memeluk ibunya dari belakang
lalu menarik tubuh ibunya untuk berbaring di tempat tidur sejajar
dengan dirinya. Ibunya beringsut berbaring di ranjang dengan menaruh
kedua kakinya ditempat tidur dan kini mereka berbaring berhadapan.
Ibunya hanya diam saja bahkan kini matanya terpejam. Arjuna menciumi
muka ibunya dengan sedikit kasar lalu diciumnya bibir ibunya. Tak
disangka kali ini ibunya balas mencium bibirnya. Mereka akhirnya
berpelukan menyamping dengan dada saling berhimpitan. Setelah puas
berciuman dan bertukaran ludah Arjuna mulai menjilati leher ibunya yang
kini telah berkeringat. Ibunya menggelinjang sambil mendesah. Desahan
ibunya berbeda dengan tadi malam. Tadi malam mereka berusaha meredam
suara karena ada ayah di kamar yang satu, kini mereka hanya berdua saja.
Kini desahan ibu dapat terdengar dengan jelas.
Arjuna mengenyoti leher ibunya. Ibunya mengerang-ngerang dan tiba-tiba saja berkata,
“Aaahhhhhh……… udah Jun…… geli leher ibu….. lidah kamu nakal……… ibu geli……”
Arjuna merasakan sebelah kaki ibunya yang bebas kini melingkari pahanya.
Dari balik sarungnya, Arjuna merasakan ibunya mulai menekan-nekan
burungnya dengan selangkangan ibunya. Arjuna segera menarik sarungnya
keras-keras sehingga kontolnya bebas. Arjuna kini merasakan celana dalam
ibunya yang kering menekan batang kontolnya. Tibalah ide brilian yang
lain.
“Aduh bu….. celana dalam ibu masih kering, titit Arjuna sakit. Buka aja deh celana dalam ibu…”
“Jangan, Jun. begini aja,” kata ibunya di antara desah dan erangannya.
“Please bu…. Sakit nih…….”
Dewi yang sedang birahi, karena rupanya dari bangun pagi terbayang
orgasme semalam yang sudah lama tak dirasakannya lagi, tetap menggeseki
burung anaknya sambil memeluk erat anaknya, seakan tak mendengar suara
anaknya.
“Ibu jahat….. ga sayang Arjuna! Gimana kalau luka?”
Mendengar kata-kata Arjuna yang sedikit tinggi, Dewi menjadi berfikir.
Kasihan juga anaknya kalu burungnya luka. Walaupun berpikir, Dewi terus
menggeseki burung anaknya itu. Akhirnya, dengan gerakan cepat dewi
mengangkat kainnya, melepaskan celana dalamnya, lalu menindih anaknya.
Untuk posisi ini Dewi pertama-tama berlutut di samping tubuh anaknya,
lalu menduduki kontol anaknya lalu menindih lagi anaknya.
Arjuna menjadi sangat girang. Dirasakan batang kontolnya ditekan oleh
sesuatu yang hangat dan sedikit lembab. Kedua tangan Arjuna meraih
pantat ibunya. Senangnya ketika ia merasakan pantat ibunya yang
telanjang dikarenakan kain ibunya telah ditarik sampai ke pinggang.
Arjuna menggoyangkan pantatnya juga. Kini mereka berdua saling
menggesekkan alat vital-masing-masing. Mulut Arjuna pun sudah mulai
bergerilya lagi.
Bila kemarin malam Arjuna merasa di surga dunia, kini Arjuna merasa
bagaikan di surga ke tujuh. Kontolnya dapat merasakan bibir memek ibunya
membungkus batang kontolnya. Dan dinding di balik bibir vagina itu
begitu hangat dan licin juga basah. Di remasnya pantat telanjang ibunya
dengan kedua tangannya sementara mulutnya asyik menyedot-nyedot dan
mencupangi leher ibunya.
“Aaah…… ahhh……. Peluk ibu Jun…….. goyang Jun….. goyang yang keras………”
Dengan kedua tangannya, Dewi memegang wajah anaknya lalu mencium
bibirnya dengan penuh nafsu. Arjuna merasakan lidah ibunya yang basah
menerobos mulutnya, tak mau kalah Arjuna membalas dengan lidahnya. Lidah
mereka kini berperang di dalam dan luar bibir mereka, sementara bibir
ibunya bagian selangkangan sedang membungkus kontol Arjuna, kedua organ
intim mereka juga sedang bertempur untuk mencapai puncaknya.
Arjuna kini menggerakkan tangannya ke atas. Di pegangnya kain ibunya
pada bagian atas, lalu dibetotnya kebawah keras-keras sehingga kain
ibunya kini berjumbel di pinggang. Ibunya kini telanjang. Kedua tangan
Arjuna disisipkan di antara tubuh mereka, lalu mulai meremasi payudara
ibunya. Ibunya melenguh keras lalu melepas ciuman.
“iyaa….. aaahhh……. Remas tetek ibu, naaaakk……..”
Ibunya kini duduk di atas kontol Arjuna dengan kedua tangan memegang tangan Arjuna yang sedang meremasi payudaranya.
Arjuna melepaskan tangan kirinya dari payudara ibunya. Kini dapat
dilihatnya tetek ibunya yang sebesar parutan buah kelapa namun berbentuk
tetesan air itu secara dekat. Kulit toket ibunya basah oleh keringat
sehingga tampak mengkilat. Pentil ibunya sudah membesar sementara bagian
dasar pentil itu sudah mengecil, sehingga tampak bagai ujung belakang
pulpen yang tegak menantang. Arjuna tak tunggu waktu lama mengenyot
puting kanan ibunya itu.
“Iyaaaaahhhhh…….. isep tetek ibu, Jun………..”
Arjuna merasakan tetek ibunya agak asin dan ada juga bau tubuh ibunya
yang terbawa di sana. Sungguh sangat lezat. Hisapan Arjuna membuat
ibunya semakin kencang menggoyangkan pantatnya dan kini selangkangan
mereka berdua telah basah kuyup oleh cairan kewanitaan Dewi dicampur
dengan keringat ibu anak itu. Bau tubuh ibunya memenuhi ruangan.
Keringat mereka bercampur lagi. Toket kanan ibunya telah basah oleh
campuran keringat mereka berdua, juga ludah Arjuna. Setelah
lama-kelamaan toket ibunya itu sudah bau mulut Arjuna, maka Arjuna ganti
melahap payudara kiri ibunya. Dikenyot dan dijilatnya buah dada ranum
ibunya itu dengan rakus bagaikan orang kelaparan yang baru ketemu
makanan.
Goyangan pantat Dewi semakin lama semakin hebat. Selangkangannya dan
anaknya sudah licin dan basah karena cairan kewanitaannya. Arjuna pun
mengimbangi goyangan ibunya dengan menekan-nekan batang kontolnya
sepanjang kemaluan ibunya yang sangat hangat. Bahkan Arjuna merasakan
memek ibunya mengeluarkan cairan kental, licin dan sedikit panas yang
menambah hot suasana, terutama di selangkangan mereka berdua.
Akhirnya ibunya menekan kontol Arjuna dengan keras sambil berteriak kecil,
“Ibu sampeeeeeee…..”
Bersamaan dengan itu, Arjuna merasakan lubang ibunya bagaikan
memancarkan air panas yang membuat dirinya juga tak dapat menahan diri.
Sambil menyedot puting susu ibunya keras-keras, Arjuna memeluk erat
tubuh telanjang ibunya sambil menekan pantatnya ke atas sehingga batang
kontolnya dan memek ibunya beradu dengan kuat seakan sedang adu kekuatan
untuk saling menjatuhkan.
Kontol Arjuna berkedut-kedut keras menumpahkan sperma yang menciprati
selangkangannya dan selangkangan ibunya. Selama beberapa saat mereka
menikmati orgasme yang mereka rasakan. Lalu kemudian Dewi merebahkan
diri di samping kiri Arjuna kelelahan. Telapak tangan kanannya ditaruh
di dahi. Ia memejamkan mata dan beristirahat setelah orgasme yang bahkan
lebih hebat dari semalam.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar