Selasa, 10 Desember 2013

Cerita Seks - Birahi Kaka adik

Sepeda motor bekas pun akhirnya dibelikan
kepada kakakku Adi. Maksudnya, agar Kak Adi
boleh memboncengku ke sekolah, kemudian
dia pun meneruskan ke sekolahnya di STM.
Bila pulang sekolah, aku menunggunya, kami
pun kembali berboncengan pulang kembali ke
rumah. Dengan uang Rp. 10.000, kami boleh
sekolah berdua dengan aman. Selama ini,
bapak kami harus mengeluarkan uang sebesar
Rp. 30.000,- per hari buat kami berdua.
Kak Adi sekolah kelas 3 STM dan aku kelas 1
SMP. Jalan menuju jalan besar, sedikit
berlubang dan dikuatkan dengan batu-batu
kerikil. Mulanya, aku sangat takut dengan
lubang lubang itu, membuat aku harus
memeluk kuat Kak Adi di boncengan.
Sebulan setelah itu, keadaan biasa-biasa saja.
Tapi lama-lama aku merasa sangat nyaman
dan enak, ketika jalan berlubang itu kami
lalui. Sepanjang 2 Km, tetekku yang mulai
membengkak tergesek-gesek di punggung
kakakku. Sampai akhirnya Kak adi sendiri yang
berkata:" Tuty, kakak senang sekali kalau kamu
peluk erat dari belakang."
"Kenapa kak?"
"Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Tetekmu
enak mengelus-elus punggung kakak," katanya.
Aku tersenyum. Ternyata buka aku saja yang
merasakan enaknya. Kak Adi juga.
"Aku juga," kataku polos. Dan kami pun
tersenyum berdua.
Pulang sekolah, ada sisa jajan, dan kami
duduk di warung di sebuah ketingian,
hingakami bisa menyaksikan keindahan
pohon-pohon sait yang baru ditanami, hijau
bergelombang di tanah yang berlembah dan
berbukit. Kami duduk di bawah pohon
rindang, memesan dua gelas es dawet dingin.
"Tut... kata orang, ciuman itu enak. Kami mau
kalau Kakak cium?" Kak Adi berkata seperti
kepada dirinya sendiri. Sepertinya dia ragu
mengucapkan kata-katanya. Aku tertunduk
malu. Padahal aku juga ingin dicium. Di kelas,
kawan-kawanku mengaku sudah punya pacar
dan sudah pernah berciuman. Dalam umurku
yang 13 tahun, aku sudah haid dan selalu
membayangkan Kak Adi mencium dan
memelukku.
"Kok kamu enggak menjawab," Kak Adi
mengusik lamunanku. Aku hanya tersenyum
dan tertunduk malu. Setelah melihat keadaan
aman di balik pohon besar tempat kami duduk
itu, tiba tiba Kak Adi mendekatiku dan
memelukku serta mencium bibirku. Aku
terkejut dan membiarkannya. Bibirku bagian
bawah dia sedot-sedot sembari tangannya
mengelus tetekku dari luar. Uuuhhh... aku
melayang. Kami pun saling menatap,
kemudian aku tertunduk malu dan tersenyum.
"Kapan-kapan lagi ya?" Kak Adi membisikiku.
Kami pun pulang karena takut terlambat di
rumah. Sudah diberikan sepeda motor, malah
terlambat.
Kami makan bedua, lalu Kak Adi mau ke
ladang memindahkan lembu yang biasanya
terikat di ladang. Dia hanya mengenakan
celana pendek. Ibu kami asyik dengan
jualannya pada warung di depan rumah kami.
Dia menjual gado-gado dan pecel serta ayah
berada di sawah, karena sebentar lagi musim
tanam padi.
"Mak, aku boleh ikut Kak Adi memindahkan
lembu ya. Kasihan setiap hari Kak Adi
memindahkan sendiri lembu-lembu itu,"
kataku. Ibuku tersenyum.
"Kalau semua kerjaan di rumah sudah selesai,
ya sana ikut Kak Adi mu," kata ibuku. AKu pun
ikut dengan Kak Adi. Kami berjalan cepat-
cepat. Lembu-lembu kami pindahkan bersama
ke tempat yang agak teduh dan rumput yang
segar. Tiga ekor lembu yang setiap pagi
dibawa oleh ayah ke ladang, siang dan sore
Kak Adi yang memindahkannya dan
mebawanya pulang ke kandang.
Usai memindahkan lembu-lembu itu, kami
duduk di bwah pohon manga yang subur dan
lebat. Sunyi sekali saat itu. Kak Adia
mengajakku ke rumput bambu yag lebat. Ada
beberapa rumpun babmu besar di ladang kami
yang luas. Sepi dan sunyi. Kak Adi memelukku
dan bibir kami berpautan. Lidah Kak Adik
bermain-main di dalam rongga mulutku.
Tangannya mengelus-elus tetekku.
"Kamu lepas BH mu ya Tut. Kakak kau isep
tetekmu. Boleh ya...?" Aku menurut saja.
Kulepas BH ku dan kukantongi di celanaku.
Baju kaos oblongku disingkap ke atas dan
mulutnya mulai mengisapi pentil tetekku yang
mungil. Aku senang sekali. Kak Adi memelukku
kuat dan erat, aku membalasnya juga dengan
pelukanku. Semakin kuat Kak Adi memelukku,
aku juga semakin kuat membelasnya. Sebelah
tangannya mengelus-elus pantatku dan
memekku begitu rapat dengan burungnya,
walau kami sama-sama masih memakai
celana. Akhirnya Kak Adi melepaskan
ciumannya dan meregangkan pelukannya.
Kami kembali ke pohon mangaa yang rindang
mengamati lembu kami asyik memamah
rumput segar. Tak lama kami meliohat ayah
mendekati kami. Untung saja, kami sudah
berada di bawah pohon mangga. Ayah
tersenyum melihat kami duduk berdua, dan
aku sedang membaca buku yang kubawa dari
rumah. Ayah kami mengira aku sedang diajari
oleh Kak Adi.
"Nih... aku bawakan sebuah pepaya untuk
kelian. Aku pulang duluan, mau ke rumah
Pakde mu. Abangmu mau menikah, jadi aku
dan ibumu akan ke sana. Nanti malam baru
pulang," kata ayah sembari menyerahkan
sebuah pepaya. Kami senang sekali. Begitu
ayah menjauh, Kak Adi membisikiku.
"Tut... aku masih mau lho... Kamu cebok dulu
ke irigasi. Cuci yang bersih tempemu,"
bisiknya.
"Mau diapai tempeku?"
"Sudah sana, nanti kamu tau sendiri." Aku
pun segera ke irigasi berair jernih itu dan
mencuci tempeku. Jaraknya hanya 20 meter
dari tempat duduk kami.
Kembali Kak Adi membawaku ke rumpu
bambu yang lebat dan kami masuk ke sela-
sela antara tiga rumpun. Di bwah bambu itu
bersih sekali. Aku ditidurkan Kak Adi di tanah
yang keras beralaskan daun pisang kering.
Kedua kakiku dikankangkan dan Kak Adi
berada di antara kedua kakiku. Dia mulai
menunduk dan menjilati tempeku.
"Kak... jijik, kak. Tempuku kok dijilati?"
"Kan sudah dicucui bersih tadi?"
"Sudah tapi...."
"Sudah diam saja. Pasti kamu nanti
ketagihan."
Aku membiarkan Kak Adia menjilati tempeku
dan benar saja, terasa nikmat sekali. Aku
menggelinjang-gelinjang dan kuelus rambut
Kak Adi. Sampai akhirnya aku menjepit kepala
Kak Adi dengan kedua kakiku dengan kuat dan
aku mengerang.
"Kak... AKu mau pipis..." akuterus menjepit
kepala Kak Adi dengan kedua kakiku dengan
kuat sekali dan kemudian aku lemas setelah
aku berada tinggi di atas awang-awang.
Saat aku lemas, Kak Adi melapas jilatannya di
Tempeku, kemudian dia menciumi bibirku,
tetekku dan memelukku kuat sekali, kemudian
dia pun melemas
Setiap ada kesempatan, aku dan KakAdi selalu
saja menyempatkan diri untuk melakukan
berbagai hal. Mulai dari berciuman, Kak Adia
menjilati Tempeku dan aku mengisap
burungnya serta banyak hal lagi.
Di ladang, aku diajari oleh Kak Adi membawa
sepeda motor. Ayah dan ibuku senang sekali,
melihat kekompakan kami berdua. Kak Adi
aternyata sangat menyayangiku. Mereka tak
tahu apa sebabnya. Pokoknya mereka senang,
melihat Kak Adia mengajariku naik sepeda
motor. Hari pertama biasa saja. Hari kedua
juga biasa saja. Hari ketiga juga dan beberapa
hari kemudian aku semakin mahir membawa
sepeda motor bebek itu.
Kak adi meminta agar aku membawa sepeda
motor ke rumpun bambu. Tangannya terus
mengelur tempe ku dari luar. Aku
mengelinjang. Bahkan tempeku menjadi basah,
karena elusannya itu. Sepeda motorpun kami
starndart kan di bawah rumpun bambu
sembari mengawasi lembu kami memakan
rumut.
"Selama ini, burung Kak Adi kan sudah laga
dengan tempe-mu Tut? Bagaimana kalau
burung Kak Adi dimasukin ke dalam lubang
tempe-mu...." Kak Adi membisiku. Aku
tersenyum.
"Terserah Kak Adi saja..."
"Tapi katanya sedikit sakit. Hanya sebentar
kok. Kalau sudah itu, lantas jadi enak?"
"Terserah Kak Adi saja."
Aku pun dibawa ke tempat biasa kami, yakni di
antara tiga rumpun bambu yang lebat dan di
bwahnya bersih sekali. Malah (pasti) Kak adi
sudah menyiapkan sebuah plasti untuk tempat
tidur. Aku terlentang. Kulepas celana dalamku
dan Kak Adi meliorotkan celananya sampai ke
dengkul. Kulihat Burung Kak Adi begitu keras
dan berdiri megacung. MUlanya dia menjilati
tempe-ku dengan rakusnya, sampau aki
merasakan melayang-layang. Kemudian dia
mendekatkan ujung burungnya ke tempe-ku.
Sebelah tangan kirinya mengarahkan
burungnya ke tempe-ku dan sebelah lagi
mendekapku. Perlahan ujung burung Kak Adi
menyeruak lubang tempe-ku. Aku menggigit
bibirku, karean terasa sakit.
"Sakit Kaaakkk..." Tekanan burungnya
terhenti, justru bibirnya dan lidahnya bermain
di mulutku. Kemudian dia menekan kembali
dengan terus sampai aku hambpir saja
menjerit karean menahan sakit dan perih. Air
mataku meleleh menahankan rasa sakit itu.
Kak Adi pun membelai kepalaku dan mencium
pipiku denganlembut. Sebentar lagi tak sakit
lagi, katanya. Setelah tetekku diisapinya,
kembali dia menerik burungnya dan kembali
menusuknya, menarik perlahan dan menusuk
perlahan dan seterusnya. Aku sudah mampu
merasakan perubahan dari sakit dan mulai
nikmat, sampai akhirnya, aku merasakan ada
lendir hangat memenughi ruang tempe-ku.
Cepat aku disuruhnya mencuci tempeku ke
irigasi. Aku melihat ada darah di air jernih itu.
Aku pun menyurun strategi, kalau ditanyai
kenapa jalanku seperti tidak normal. Benar
saja, ibu bertanya seperti apa yang
kubayangkan. Aku mengatakan, aku datang
bulan (haid) dan terasa sangat sakit. Ibu
tersenyum. Dia memberikan jamu agar rasa
sakitnya hilang dan darah lancar keluar. Aku
meminumnya, Tapi rasa nyeri masih juga ada.

Besoknya aku tidak sekolah. Aku kesepian, Kak
Adi tak ada bersamaku. Menunggu jam 13.30
rasanya seperti mau mati. Akhirnya yang
kutungu datang juga. Dengan pucat dia
bertanya.
"Gak apa-apa Kak." Aku kembali ikut ke ladang
memindahkanlembu. Bahkan aku diminta
membawa sepeda motor dan Kak Adi duduk di
belakang. Dengan janji di hadapan ayah dan
ibu, aku tak boleh membawa sepeda motor di
jalan Rasa karena belum punya lisensi untuk
itu. Aku setuju. Ayah dan ibuku tersenuk
gembira dengan peraturan yang dibuat oleh
Kak Adi.
Setelah seminggu tak ada lagi rasa sakit di
tempe-ku. Setelah memindahkan lembu, kami
ke dekat rumpun bambu. Kak Adi melapas
celana dalamku. Dia juga melorotkan
celananya. Di atas sepeda motor yang
berhenti kami dduk berhadap-hadapan. Kak
Adi mengangkat tubuhku ke atas kedua
pahanya. Perlahan burungnya memasuki
lubang tempe-ku. Kami berpelukan,
berciuman. Tangan Kak Adi meremas halus
tetekku dan menciumi bibirku, sampai
akhirnya kami sama-sama berada pada
kenikmatan kami beruda. Sperma Kak Adi
memenuhi lubang tempe-ku dan aku juga
lemas. Nikmat sekali. Dan tiga harui kemudian
aku haid. Aku melapor lagi pada ibu. Kata ibu,
kalau masih remaja tingting, haidnyabelum
teratur.
Kerig haidku. Aku minta lagi akan agar Kak Adi
memasukkan burungnya ke lubang tempeku.
Kak Adi memasang sarung pada burungnya.
Katanya biar tidak hamil. Aku setuju saja.
Di atas sepeda motor dengan alasan belahar
naik s3epeda motor, di bawah pohon rumpun
bambu, di rumah, di kamar mandi, bahkan
saat kami pulang sekolah, aku merasa sangat
bernafsu. Di atas sepeda motor aku bisiki pada
Kak Adi.
"Kak...aku mau burung Kak Adi dimasukin
sekarang..."
Cepat Kak Adia membelokkan sepeda motor ke
sela-sela sawit. Cepat dia mengambil sarung
burungnya yang terbuat dari karet itu. Saat itu
aku sudah melepas celana dalamku dan
memaskkannya ke dalam tasku. Kak Adi duduk
di tanah dan aku langsung menaiki tubuhnya,
menangkap burungnya, kemudian
mengarahkannya ke dalam lubang tempe-ku.
Tak lama, kemudian kami berdiri dan
berbenah dengan cepat, sepeda motor pun
kami naiki dan pulang k rumah.
Selepas makan, Ibu tidak membuka
warungnya, karean ikut bertanam pagi di
sawah. Kak Adi berbisik padaku.
"Kita ke kamarku yok... cepatan.." Aku
tersenyum. Padahal baru saja kami
melakukannya, tapi aku tau, kalau Kak Adi
memnginginkannya. Kami bertelanjang bulat di
atas tempat tidur Kak Adi, kami melakukan
persetubuhan dengan bebas dan buas sekali
Kak Adi menyetubuhiku. Aku sangat puas dan
puas. Kalau aku haid, dan Kak Adi
menginginkannya, dia minta burungnya aku
jilati dan kulum, sampai akhirnya spermanya
lepas dalam mulutku.
Tapi ketika aku sakit gigi dan tak mampu
mengulum burungnya, KakAdia
memasukkannya dari duburku. Aku merasa
sakit sekali. Kedua kali juga terasa masih sakit.
Mulai ketiga kalinya, aku merasa mulai nikmat.
Mulut tempe-ku dan duburku semua sudah
dimasuki burung Kak Adi. Aku memang
mencintai Kak Adi. Aku malah tak rela, kalau
Kak Adi nanti pacaran dengan perempuan lain
dan harus menikah dengan perempuan lain.
Kami pun sepakat, kalau sudatu saat kami
menikah, kami akan tetap melakukan hal yang
sama secara sembunyi-sembunyi. Aku setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar