Sabtu, 05 Mei 2007

Perkenalkan nama lengkapku Tita Indah Sari, namun aku biasa dipanggil Tita oleh teman-temanku. Saat ini aku bekerja di sebuah Bank asing yang cukup ternama di daerah Sudirman. Sejak lahir hingga sekarang aku sudah tinggal bersama keluargaku di daerah Cibubur. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Aku memiliki dua orang adik perempuan, Winnie dan Dewi, serta satu adik laki-laki yang bernama Amar. Ayahku adalah orang Betawi asli, sedangkan Ibuku merupakan keturunan Sunda.

Karena ini adalah kisahku dengan adikku yang laki-laki, tanpa melibatkan adik-adikku yang lain, maka aku hanya akan menceritakan tentang kami berdua saja. Secara fisik aku memiliki tinggi badan 157 cm, kulit yang cukup putih, serta wajah yang menurut kebanyakan teman-temanku manis dan imut. Bahkan sampai sekarang aku masih sering dianggap lebih muda dari umurku saat ini. Sedangkan adikku Amar, berkulit sawo matang, kurus dan tingginya sekitar 175 cm. Walaupun wajahnya terbilang biasa-biasa saja, di usianya yang berjarak 5 tahun denganku, dia sudah cukup sering berganti pacar.

Mungkin karena Amar adalah anak laki-laki satu-satunya dia diperlakukan berbeda oleh kedua orang tua kami. Namun karena sering dimanja seperti itulah, Amar menjadi anak yang suka melawan, sering bolos kuliah dan juga tidak mau mendengarkan nasehat dari orang lain termasuk keluarganya. Hingga pada suatu hari segalanya berubah. Yang pasti hari tersebut tidak akan pernah dapat terlupakan bagi aku dan dirinya.

Kisah ini berawal pada suatu sore saat kedua orang tua dan adik-adikku yang perempuan sedang berkunjung ke rumah nenekku, jadi di rumah hanya tinggal aku beserta adik laki-lakiku yang sedang tidak ada jadwal kuliah. Pada hari itu aku memang tidak bekerja karena libur dan juga sedang tidak ada rencana pergi dengan pacarku. Karena sedang berada di rumah, aku hanya memakai kaos putih tanpa bra dan dipadukan dengan celana pendek di atas lutut warna biru muda yang memperlihatkan sebagian paha mulusku.

Saat itu aku sedang mengobrol dengan pacarku melalui HP. Kami berdua membicarakan berbagai hal, mulai dari masalah serius hingga yang ringan. Tanpa terasa sudah lebih dari 1 jam aku berbicara dengannya. Sampai akhirnya aku tidak dapat tahan lagi untuk buang air kecil. Aku pun meminta ijin kepada pacarku untuk menyudahi pembicaraan kami terlebih dahulu dan berjanji akan menghubunginya kembali. Setelah meletakkan HP, dengan terburu-buru aku berlari menuju ke kamar mandi yang jaraknya paling dekat, ketika kubuka gagang pintunya ternyata sedang dikunci dari dalam.

“Amar bukain pintunya dong…!! Teteh udah nggak tahan mau pipis nih…!!” aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu.

“Tunggu ya Teh! Amar sebentar lagi selesai kok…!” terdengar suara adikku dari dalam kamar mandi.

“Aduh Mar!! Teteh udah kebelet nih…!! Cepetan dong keluar…!!” kataku memaksa sambil terus menggedor-gedor pintu karena aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menahan air seniku.

‘Kreekk…’ terbuka sedikit pintu kamar mandi kemudian kepala Amar mengintip dari celahnya.

“Teteh nggak sabaran banget sih!?” kata Amar dengan nada kesal karena mandinya jadi terganggu.

Tanpa memperdulikan adikku yang sedang marah-marah, aku langsung memaksa masuk ke dalam kamar mandi karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil. Dengan cepat aku menurunkan celana pendek beserta celana dalamku kemudian jongkok di atas kloset.

“Aaaaahhh…” aku sungguh merasa lega karena akhirnya keluar juga air seni yang sudah kutahan-tahan dari tadi.

Sambil tetap meneruskan buang air kecil, aku sempat memperhatikan adikku yang masih berdiri dengan kondisi telanjang bulat. Wajahnya terlihat sangat kesal karena mandinya terganggu oleh aku yang sudah terlanjur masuk ke dalam kamar mandi.

“Teteh ganggu orang lagi mandi aja nih…!!” teriak adikku sambil melotot.

“Maaf ya Mar, Teteh udah nggak kuat nahan pipis. Bentar lagi juga selesai kok…” kataku sambil meminta maaf.

Sebenarnya aku tidak mau memandang tubuh bagian bawah adikku. Tetapi karena ingin membandingkan penis Amar dengan milik pacarku, akhirnya aku menurunkan juga pandanganku.

“Hihihi… Masih kalah dengan penis pacarku…” aku tertawa dalam hati.

Karena takut tertangkap basah melihat penisnya, cepat-cepat kunaikkan lagi pandanganku ke arah wajahnya. Ternyata mata adikku sudah tidak melihat ke arah wajahku lagi, melainkan sedang memandangi vaginaku.

“Kurang ajar nih si Amar malah ngeliatin vaginaku!! Mana pipisku belum selesai lagi…” aku bersungut dalam hati.

Lalu aku menekan sekuat tenaga otot di vaginaku agar cepat selesai buang air kecilnya. Tanpa sengaja, terlihat lagi penis adikku yang tidak tertutup itu. Perlahan-lahan penisnya semakin naik sedikit demi sedikit, namun masih tetap kelihatan kecil.

“Ternyata memek Teteh bentuknya kayak gitu yah?” kata adikku tiba-tiba sambil melihat ke arah vaginaku.

“Amaaaar…!! Jangan kurang ajar kamu yah…!!” aku yang dalam keadaan marah langsung berdiri mengambil gayung kemudian kulemparkan ke arah adikku.

‘Duuuk…!!’ lemparanku memang mengenai tubuh adikku, tetapi hasilnya air seniku mengenai celana pendek serta celana dalamku.

“Aduuuh… Gara-gara Amar sih! Jadi basah deh celana Teteh…” aku marah-marah sambil melihat ke celana pendek dan celana dalamku.

“Syukurin! Makanya Teteh jangan maen masuk seenaknya aja…!” kata Amar sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.

“Amar mandi lagi aah…” lanjutnya sambil mengambil gayung yang tadi aku lempar ke arahnya, kemudian melanjutkan menyiram air ke badannya lalu mulai mengusap sabun ke seluruh tubuhnya.

“Huuuh!! Ini anak cuek banget sih…!!” kataku dalam hati.

Waktu itu aku bingung harus bagaimana. Ingin keluar dari kamar mandi, namun tentu saja aku tidak mau memakai celana pendek dan celana dalamku yang sudah basah terkena air seniku. Akhirnya terlintas di pikiranku untuk meminjam handuk milik adikku terlebih dahulu, nanti setelah mengganti pakaian baru aku kembalikan handuknya.

“Teteh pinjem handuk Amar aja dulu…” kata adikku seolah-olah dapat membaca isi pikiranku.

“Iya deh…” jawabku singkat.

Tanpa ragu lagi, aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku yang berwarna merah muda. Karena teringat setelah buang air kecil tadi aku belum sempat membersihkan vaginaku, maka aku mengambil gayung dari tangan adikku lalu membasuh vaginaku dengan air. Karena tidak ingin kalau Amar melihatku lebih lama dalam keadaan seperti ini, maka aku membersihkan vaginaku tanpa menggunakan sabun.

Setelah merasa cukup bersih, aku pun berniat untuk meminjam handuk adikku seperti yang tadi dia janjikan. Dan tepat seperti yang aku duga, ternyata dia memang sedang memperhatikan tubuhku yang setengah telanjang.

“Teh… Memek Teteh kok nggak ada bulunya sih? Hehehe…” katanya sambil tertawa meledek vaginaku yang memang baru aku cukur.

“Biarin aja! Daripada kecil kayak punya kamu Mar!” kataku membela diri sambil berusaha menutupi vaginaku dengan tangan.

“Emang Teteh udah pernah liat yang lebih gede dari ini?” tanya Amar yang sengaja memancingku.

“Y-ya nggak pernah lah!” jawabku sedikit gugup sambil berusaha memukul bahu adikku.

Tiba-tiba dia menghindar dari pukulanku “Weiiitts…!” katanya.

Karena aku memukul dengan sekuat tenaga, tanpa sengaja aku terpeleset sehingga punggungku jatuh mengenai tubuhnya, sedangkan pantatku menyentuh penisnya.

“Iiih… Rasanya geli banget…” kataku dalam hati.

Dengan segera aku menarik tubuhku sambil berkata “Uuuh… Gara-gara Amar sih…!!”

“Kata Teteh barusan kontol Amar kecil kan? Kalau kayak gini gimana?” katanya mengacuhkan omonganku sambil menunjuk ke arah penisnya.

Kulihat penisnya mulai membesar seperti tadi, pelan-pelan semakin gemuk dan semakin tegak ke arah depan.

“Yeee…! Kalo gitu doang sih masih kayak anak kecil…!!” kataku berbalik mengejek dia.

Padahal jujur saja aku sempat terkejut juga melihat ukuran penis Amar yang sudah cukup jauh dibandingkan awalnya. Di dalam hati aku ingin mengetahui sampai seberapa panjang penisnya dapat bertambah.

“Tapi ini masih bisa digedein lagi Teh…” kata Amar seperti dapat mengetahui rasa penasaranku.

“Hah? Beneran Mar?” tanyaku sambil menatapnya.

“Iya Teh… Tapi untuk itu Amar butuh bantuan Teteh…” sahut adikku dengan wajah mesum.

“Bantuan apaan sih?” tanyaku yang sebenarnya sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh adikku.

Tiba-tiba saja Amar menarik lenganku ke arah penis miliknya “Tangan Teteh taro aja di kontol Amar…”

“Teteh nggak mau ah Mar…!” dengan cepat aku menarik tanganku yang sempat menyentuh penisnya.

“Kenapa sih Teh? Emangnya Teteh nggak penasaran bisa sampe segede apa kontol Amar?” tanya adikku.

Sebenarnya aku sudah mau marah kepada adikku karena dari tadi dia selalu memakai kata ‘memek’ dan ‘kontol’ yang terdengar sangat kasar di telingaku, ditambah lagi sekarang dia menyuruhku untuk memegang penisnya. Namun karena penasaran ingin melihat ukuran maksimal penis milik adikku, maka aku memilih untuk menahan marah dan mengikuti perkataannya tadi.

“Ya udah deh Teteh mau…” kataku setuju.

“Asyiiiiik!!” adikku berteriak kegirangan.

Aku memang merasa seperti dipermainkan oleh adikku. Tapi karena sudah terlanjur menyanggupi permintaannya, maka aku mulai mendekatkan tanganku ke arah penisnya. Namun belum sempat aku menaruh tanganku pada penis Amar, benda tersebut sudah mulai bergerak dan semakin naik sedikit demi sedikit. Diameter penisnya semakin membesar, begitu juga dengan panjangnya yang ikut bertambah.

Aku benar-benar merasa terkejut sekaligus terangsang melihat itu semua. Tidak lama kemudian kepala penisnya mulai berwarna merah.

“Gimana Teh? Kontol Amar udah lebih besar dari yang tadi kan?” tanya adikku sambil melihat ke arah wajahku yang sedang takjub dengan ukuran penisnya.

Ditanya seperti itu aku hanya dapat terdiam sambil terus melihat penis adikku yang sekarang panjangnya kurang lebih mencapai 15 cm! Kini penis adikku terlihat tegang sekali dan ukurannya sudah menyamai milik pacarku. Aku jadi semakin terangsang melihatnya. Tentu saja aku yang tidak ingin Amar sadar kalau aku tergoda melihat penisnya dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah wajahnya.

“Sekarang udah nggak kayak kontol anak kecil lagi kan Teh? Hehehe…” kata adikku sambil tertawa.

Belum sempat aku berkata apa-apa, tangan adikku tiba-tiba turun menyentuh bagian selangkanganku. Walaupun aku merasa terangsang diperlakukan seperti itu, tentu saja aku menepis tangannya.

“Amar apa-apaan sih!!” kataku sambil memasang wajah marah.

“Amar cuma mau pegang-pegang aja kok Teh. Janji deh nggak Amar apa-apain. Amar cuma pengen tahu aja rasanya megang memek…” kata adikku dengan memasang wajah memelas.

Kembali tangan adikku mendekati selangkanganku, tapi dia belum berani memegang vaginaku lagi karena belum mendapat ijin dariku. Tadinya aku berpikir untuk menolak permintaan adikku, walaupun pacarku yang sekarang sudah pernah menyentuh vaginaku, namun tetap saja kali ini yang mau memegangnya adalah adik kandungku sendiri. Sekalipun begitu aku juga merasa sedikit lega, karena walaupun cukup sering bergonta-ganti pacar, namun ternyata adikku tidak pernah terlampau jauh dalam hal berpacaran.

“Ya udah Teteh bolehin deh. Tapi inget! Amar cuma boleh pegang bagian luarnya aja yah…” akhirnya aku mengiyakan karena adikku sudah berjanji ‘hanya’ akan memegang vaginaku saja.

Deg-degan sekaligus penasaran juga rasanya. Tangan adikku lalu semakin mendekati kemaluanku yang halus tanpa bulu itu. Di saat bibir vaginaku sudah tersentuh oleh tangannya aku merasa geli sekali. Aku melihat penisnya sudah keras sekali, kini warna kepala penisnya jauh lebih kehitaman dan lebih licin dibandingkan dengan sebelumnya. Hangatnya tangan adikku sudah terasa melingkupi vaginaku. Geli sekali rasanya saat bibir vaginaku tersentuh telapak tangannya. Geli-geli nikmat pada syaraf vaginaku. Aku jadi semakin terangsang sehingga tanpa dapat ditahan, vaginaku mengeluarkan cairan.

“Teteh terangsang ya?” tanya adikku.

“Enak aja…!! Mana bisa Teteh terangsang sama kamu Mar…” jawabku sambil berusaha merapatkan vaginaku agar cairannya tidak semakin keluar.

“Ini memek Teteh kok sampe basah kayak gini?” selidiknya.

“Kamu jangan sok tau deh Mar! Itu kan sisa air pipis Teteh…” kataku berkilah.

“Teteh nggak usah bohongin Amar deh…” jawabnya.

“Iih… Siapa juga yang bohong? Emang beneran bukan kok…!” aku tetap tidak mau mengakui kalau sentuhan tangannya semakin membuat birahiku naik.

“Teh… Memek Teteh tuh rasanya anget, empuk dan basah yah…” Kata adikku sambil terus memegang vaginaku.

“Emang kayak gitu Mar! Udah belum megangnya? Teteh pengen cepet keluar dari kamar mandi nih…!” kataku seperti menginginkan situasi ini berhenti.

Padahal sebenarnya aku sangat ingin tangan adikku tetap berada di vaginaku. Bahkan aku berharap kalau tangannya juga mulai bergerak untuk menggesek-gesek bibir vaginaku.

“Teh, Amar boleh gesek-gesek memek Teteh nggak?” pinta adikku yang sepertinya bisa mengerti keinginanku.

“Tuh kan! Tadi katanya cuma mau pegang-pegang aja…” aku pura-pura tidak mau.

“Gesek dikit aja kok Teh…! Boleh yaaa..!??” rengek adikku seperti anak kecil minta dibelikan mainan.

“Terserah Amar aja deh! Tapi Amar janji yah nggak akan bilang siapa-siapa tentang kejadian ini…” aku pun akhirnya mengiyakan permintaan adikku dengan hati berdebar-debar.

Amar pun mengangguk cepat tanda menyanggupi permintaanku barusan. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi tangan adikku semakin masuk hingga aku merasa bibir vaginaku juga ikut terbawa ke dalam. Hampir saja aku mendesah karena rasanya nikmat sekali. Otot di dalam vaginaku mulai terasa berdenyut-denyut. Lalu adikku menarik tangannya keluar lagi, bibir vaginaku pun jadi ikut tertarik.

“Aaaaaaahhh…” akhirnya keluar juga desahanku karena tidak sanggup lagi menahan rasa nikmat yang timbul pada vaginaku.

Saat ini badanku sungguh terasa lemas sekali hingga mulai mengarah jatuh ke depan. Karena merasa tidak kuat berdiri, maka tanganku bertumpu pada bahu adikku.

“Aaaahhh… Uuummhhh… Maaaaar…!!” tubuhku semakin panas dan tanpa sadar aku melebarkan kedua pahaku supaya tangan Amar dapat lebih leluasa.

“Enak ya Teh memeknya Amar giniin…?” tanya adikku sambil terus menggesek-gesekan tangannya.

“I-Iyaahh… Enaaak bangeeet Maaar!! Aaaahhh…” jawabku jujur sambil memejamkan mata karena saking nikmatnya.

Tangan adikku lalu mulai maju dan mundur, kadang klitorisku tersentuh oleh telapak tangannya. Tiap tersentuh rasanya nikmat luar biasa, badan ini akan tersentak ke depan. Jari-jari adikku juga sekarang sudah mulai masuk ke dalam vaginaku. Rasanya sungguh nikmat!

“Mar… Coba jari kamu masuk lebih dalem lagi ke vagina Teteh… Cari daging yang… Aaaaaaahh…!!” desahku kencang karena saat itu jari Amar tanpa sengaja menyentuh bagian klitorisku yang sangat sensitif.

“Aduh… Sakit ya Teh? Maaf ya… Amar nggak sengaja…” kata adikku dengan nada bersalah sambil menarik jarinya dari dalam vaginaku.

“Siapa yang nyuruh keluarin jari kamu sih Mar!?” bentakku sambil memegangi lengan adikku.

“Loh kok!? Bukannya Teteh kesakitan tadi?” jawab adikku dengan wajah kebingungan.

“Itu tadi yang namanya klitoris, titik paling sensitif pada vagina cewek, coba kamu gosok pelan-pelan. Yaaahh… Aaaahhh… Kayaaaak gituu…” kataku sambil terus menikmati sentuhan jarinya.

“Jadi kalo Amar giniin rasanya enak ya Teh?” tanya adikku yang terus menggosokkan jarinya pada daging kecil itu.

“He-eh… E-eenaaaak ba-bangeeeet…” jawabku pelan.

Tangan adikku terus mengorek-ngorek vaginaku dengan diiringi nafasnya yang semakin memburu. Sekarang pasti jari-jari tangan Amar sudah terkena cairan dari kemaluanku.

“Maaar… Udah dulu pake jarinya yah… Teteeeh nggak tahan lagi… Geli bangeeet…” aku menarik tangan Amar.

Dengan tersenyum nakal adikku memperlihatkan jari tangannya yang basah “Tapi enak kan Teh?”

“I-iya enak kok…! Tapi sekarang Amar jilatin vagina Teteh dong…” pintaku tanpa malu-malu lagi.

Amar menurut saja apa yang disuruh olehku, ia menunduk hingga mulutnya sejajar dengan vaginaku. Aroma kewanitaanku pasti langsung tercium olehnya begitu aku lebih melebarkan lagi pahaku supaya Amar dapat leluasa menjilatinya.

Mata Amar melotot melihat pemandangan yang indah itu dari dekat. Bibir vaginaku masih tertutup benar-benar rapat. Tak usah dikatakan, pasti semua lelaki langsung tahu kalau vaginaku belum pernah dijamah sama sekali bahkan oleh pemiliknya sendiri.

Tanpa buang waktu lagi adikku menunduk dan menempatkan wajahnya di depan selangkanganku yang telah berlendir. Hembusan nafas adikku semakin terasa ketika wajahnya mulai mendekati vaginaku.

“Eeeeemmhhh…” desahku saat Amar mulai menciumi bagian kewanitaanku.

“Memek Teteh wangi banget…” puji Amar sambil menghirup aroma yang di timbulkan oleh vaginaku yang memang sering aku rawat.

“Ayo Mar jangan cuma diciumin aja!! Jilatin vagina Teteh sepuas Amar…” pintaku saat sudah semakin terangsang.

Adikku lalu mulai menjilati bibir vaginaku yang sudah basah karena terangsang berat. Mula-mula dia agak canggung melakukannya, namun lama-lama dia semakin terbiasa dan mulai menikmati tugasnya. Aku merapatkan kedua kakiku ketika Amar mulai menjilati rongga dalam vaginaku. Sementara itu aku menggunakan tangan kiriku untuk meremas-remas kedua buah payudaraku secara bergantian, sedangkan kugunakan tangan kananku untuk mengarahkan kepala adikku agar menjilati daerah yang tepat.

“Iyah… Disitu Maaar… Mmmmhh… I-iyaaah disituuuu… Enaaak banget Maar!!” desahku kencang karena merasa begitu nikmat.

Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Amar pada vaginaku, lidahnya bergerak-gerak seperti ular di dalam vaginaku. Daging kecil sensitifku juga tidak luput dari sapuan lidahnya, kadang diselingi dengan hisapan pelan. Hal ini membuat tubuhku menggeliat-geliat, mataku terpejam dan badanku terasa melayang-layang di langit menghayati permainan ini.

“Mmmmmhhh… Ammmaaaaarrr…” aku merasakan sensasi luar biasa yang bersumber dari vaginaku.

Tidak pernah terpikir olehku, rasa nikmat yang sangat hebat bisa ditimbulkan dari alat kelaminku yang sedang diciumi dan dijilati oleh adikku. Tubuhku mengejang setiap kali lidah Amar mengenai klitorisku. Rasanya seperti ada yang mau meledak dari dalam tubuhku dan ingin keluar melalui alat kelaminku, tapi kali ini rasanya lebih mendesak dan dorongannya lebih kuat dari sebelumnya. Sedikit demi sedikit lidah Amar mulai terlatih dalam melakukan oral seks. Lidah adikku menyapu bibir vagina dan menggelitik klitorisku sampai aku menggeliat-geliat dan mendesah nikmat.

“Te-teeruuuuuss… Maaaaar…! Se-sedikiiit lagiiii…!!” kataku terbata-bata karena sudah hampir mencapai orgasme.

Melihat ekspresi dan desahanku, Amar semakin bernafsu menjilati vaginaku.

“Eennnnghhh… Teteeh keluaaaarr!! Aaaaaahh…” aku melenguh nikmat saat aku benar-benar sudah mencapai orgasme.

Kakiku mengejang dan hampir saja terjatuh kalau tidak bertumpu pada bahu adikku. Meskipun masih terbuai di dalam kenikmatan, aku masih bisa berpikir untuk melihat ke arah adikku yang sedang menyeruput cairan dari alat kelaminku. Amar kelihatan sangat menikmati cairan yang terus mengalir dari vaginaku.

“Cairan memeknya Teteh enak banget deh…!!” kata adikku saat berhenti menyeruput dan meringankan beban birahiku untuk sementara waktu.

Amar kemudian melanjutkan menyeruput cairan vaginaku yang masih terus mengalir keluar. Sensasi bahwa yang sedang mengeluarkan cairan vaginaku adalah adik kandungku sendiri membuat vaginaku keluar dalam jumlah banyak seperti bendungan yang sedang bocor.

Setelah yakin, tidak ada lagi cairan vaginaku yang tersisa untuk dihisapnya, Amar bangkit lalu mulai membuka kaos yang menempel di tubuhku. Adikku mengangkat kaosku dengan terburu-buru, mungkin dia sudah tidak sabar untuk melihat tubuh kakaknya dalam keadaan bugil. Aku sendiri mengangkat tanganku membiarkan kaos itu lolos dari tubuhku.

‘Gleeeeekk’ aku dapat mendengar suara adikku menelan ludah dan matanya terlihat seperti mau keluar memandang tubuhku yang sekarang sudah tidak tertutup apa-apa lagi.

Tubuhku begitu mulus dengan payudara berukuran kecil, namun kencang. Ketika adikku sedang terbengong tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, aku meraih tangannya dan meletakkannya pada payudaraku. Kemudian aku bimbing tangan adikku, yang masih terasa lengket oleh cairan vaginaku, untuk mulai membelai dan meremas payudaraku.

“Mmmmhhhh… Iya gitu Mar! Remasss pelan-pelaaan payudara Teteh, rasain putingnya mengeraaaas…” kataku sambil mengarahkan tangannya yang lain ke bagian punggungku.

Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan kedua tanganku, jadi aku menggunakan kedua tanganku untuk mengelus-elus kepala adikku yang sedang menjelajahi setiap bagian dari kedua buah payudaraku. Aku memejamkan mata menikmati belaian tangan adikku, belaian itu kadang terkesan ragu-ragu tapi semakin membuat birahiku naik.

“Aaaaaaaahh… Aaaaaahh… Aaaaaaaaahh…” aku terus mendesah.

Tanpa harus dibimbing lagi, sambil sedikit menunduk adikku mengenyoti payudaraku sampai pipinya yang tirus terlihat semakin kempot. Lidahnya juga menyapu-nyapu putingnya menyebabkan aku semakin terangsang. Aku memegangi kepala adikku dan menekan-nekan wajahnya ke payudaraku seolah memintanya terus melakukannya.

“Mmmmmmmhhh… Maaaar… Isepiiiin yang satu lagiiii… Aaaaaaaaah…” erangku keenakan.

Adikku kini menghisap payudara kananku sedangkan tangannya meremasi payudara yang lain. Disedotnya putingku dengan buas menyebabkan benda itu semakin membengkak. Lidahnya terasa menari-nari dengan liar, membuatku semakin tidak bisa mengontrol diri. Tubuhku serasa lemas tak berdaya, pasrah membiarkan adikku menjilati payudaraku.

“Ooooohhh… Mar!! Jangan keras-keraaas!!” aku meringis dan menjenggut rambut adikku ketika putingku mulai digigit olehnya.

Kenikmatan yang semakin melambungkannya membuat adikku lupa diri hingga tidak terasa putingku yang sedang dihisapnya tergigit pelan.

“Maaf Teh, Amar nggak sengaja… Abis rasanya enak banget sih…” tidak dapat disangkal rasa nyeri itu turut bercampur menjadi bagian dari kenikmatan antara aku dan adikku.

“Rasa toketnya Teteh enak!! Amar suka banget ngisepnya Teh…!” kata adikku lalu kembali mengulum putingku yang semakin mencuat keluar.

“Iyaaahhh Mar…! Teteh juga suka diisep Amaar… Teruuuuus… Kayak gitu enaaaaak… Aaaahhh… Aaaaahhh!!” desahku.

Setelah kedua payudaraku sudah terbaluri air liur adikku, tangannya mulai aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, jari-jarinya sudah mulai memasuki vaginaku lagi dan menggelitik bagian dalamnya. Aku menutup mataku dan mulai mendesah saat jarinya yang sekarang sudah cukup terlatih, menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada daging kecil itu. Aku merasakan sensasi geli yang luar biasa sehingga tubuhku mengejang dan pahaku merapat mengapit tangannya.

“Aaaaaaaaaaaahh…” desahku saat jari tengah Amar bergerak naik-turun di belahan bibir vagina sambil mengelus-elus pangkal pahaku yang sudah mulai terasa panas lagi.

Sedang enak-enaknya menikmati rangsangan yang diberikan pada payudara dan vaginaku, tiba-tiba adikku berkata “Teh, gantian dong bikin Amar enak…”

“Emangnya Amar mau Teteh apain?” jawabku sambil membuka mata.

“Kocokin kontol Amar dong Teh…” katanya sambil tangannya menuntun tanganku ke arah penisnya.

Kupikir egois juga jika aku tidak mengikuti keinginannya. Kubiarkan tanganku dituntun oleh tangannya. Aku pun menggenggam batang penis yang sudah sangat tegang tersebut dengan jari-jari kecilku, kemudian berlahan mengocoknya dengan lembut. Terasa hangat penisnya di genggaman tangan ini. Kadang terasa kedutan di dalamnya. Karena masih ada sedikit sisa sabun di penisnya, dengan mudah aku bisa memaju-mundurkan tanganku mengocok penisnya. Tanganku mulai mengusap batang itu. Adikku memejamkan mata dan menelan ludah menikmati usapan lembut itu.

“Udah pernah belum penis Amar diginiin?” tanyaku ingin tahu.

“Kalo coli doang sih udah sering Teh. Malah kadang Amar ngelakuinnya sambil ngebayangin Teteh telanjang…” katanya dengan malu-malu.

Mendengar jawaban itu tentu membuat aku kaget sekaligus tersenyum geli, tanpa merasa marah sedikitpun. Aku terus mengocok penis adikku hingga sudah sangat tegang. Kulihat tubuh adikku kadang-kadang tersentak ke depan saat tanganku sampai ke pangkal penisnya. Kami berhadapan dengan satu tangan saling memegang kemaluan dan tangan satunya memegang bahu.

“Oooohh Teteeeh…” Amar melenguh nikmat menerima kocokan tanganku pada penisnya.

“Emmmhhh… Teeeh… Enaaakk bangeeeet rasanyaaa!!” erangnya gemetaran.

Saat aku sedang menikmati mengocok penis adikku, tiba-tiba dia berkata “Teh, sepongin kontol Amar dong! Soalnya kata temen-temen Amar enak banget rasanya…” tanyanya berharap aku mau menurutinya.

“Kamu tuh ya Mar! Udah dikasih hati, sekarang minta jantung…” candaku.

Tanpa ada perasaan ragu, aku menyiram penisnya yang masih ada sisa sabun dengan air dari gayung hingga bersih. Aku mengambil posisi berlutut di depan penis adikku dan mulai menggenggamnya. Adikku mulai mendesah dan tubuhnya berkelejotan ketika aku pertama kali mendaratkan bibirku untuk mengecup kepala penisnya. Lidahku lalu menyusul menjilati bagian tersebut sambil tanganku memijat pelan buah zakarnya.

“Teeteeeeehhh…!!!” teriak adikku saat aku mulai menciumi batang penisnya.

Aku yang sudah cukup sering melakukan oral seks dengan pacarku mulai menjilati ujung kepala penis milik Amar. Dengan perlahan-lahan aku memainkan lidah dan menjilati secara bergantian antara batang penis dengan buah zakar adikku.

“Enak yah Mar?” tanyaku sambil memasang wajah menggoda.

“He-eh… Eenaaaaaak bangeeeet Teeeh…!” jawab Amar yang sekarang pasti sedang birahi berat.

Aku pun melanjutkan layanan dengan memasukkan batang penis tersebut ke dalam mulutku. Batang penis itu pun kini mulai terlihat keluar masuk seiring kulumanku. Sesekali ditengah kulumannya, aku juga mengemut buah zakar Amar sehingga membuatnya semakin mendesah penuh kenikmatan.

Sambil memejamkan mata, aku mulai memasukan penis itu ke dalam mulutku. Adikku mendesis merasakan hangatnya ludahku menyelubungi penisnya disertai hisapan dan jilatan yang baru dirasakan pertama kalinya itu.

“Oooohhh… Eenaaaaak banget Teeeh… Oooohh…” adikku mengerang-erang mengeluh-eluhkan aku yang menjilati penisnya karena belum pernah dia rasakan kenikmatan seperti ini.

Aku sangat menikmati alat kelamin adikku, tidak ada yang luput dari sapuan lidahku. Penis itu habis diemut-emut dan dijilat-jilat olehku, penis Amar pun menjadi bulan-bulananku. Sekitar penisnya pun sudah basah kuyup dengan air liurku. Adikku terus mendesah dan mendongakkan kepalanya.

“Amar pasti sangat menikmati hisapan dan jilatan dariku…” pikirku yang memang sudah terbiasa melakukan hal ini dengan pacarku.

“Enaaaaak Teeeh!! Aaaaaaahhhh…” lirih adikku karena seluruh batangnya telah berada di dalam mulutku.

“Aaahhh… Teruuuus Teh!! Jilatin kepala kontol Amaaaar… Aaahh… Aaahh…” perintah adikku sambil terus mendesah keenakan.

“Teruuus Teh… Terus… Ooooooh…” Amar terus mendesah. Adikku menyeka rambut yang menutupi wajahku, rupanya dia ingin melihat ekspresi wajahku ketika sedang menghisap penisnya.

“Ooohh… Oooohh… Ooooooohh…” desahan Amar terdengar semakin kencang setiap kali batang penisnya memasuki mulutku.

Amar nampak menengadah sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia begitu menikmati apa yang dilakukan olehku di bawah sana. Sedangkan aku masih terlihat sibuk untuk mengeluarkan seluruh teknik oralku. Aku menggigit kecil kepala dan leher penis adikku karena nafsu. Tubuh Amar menggelinjang-gelinjang saat aku menggunakan lidahku untuk mengorek-ngorek kepala penisnya.

Adikku kelihatan tak bisa menahan rasa nikmat serangan lidahku pada kepala penisnya. Terkadang aku membuka mata dan menggerakkan mataku ke atas untuk melihat reaksi adikku, tatapan mataku saat itu membuatnya tidak sanggup berlama-lama memandangku. Sungguh sebuah sensasi luar biasa dimana aku sedang menghisap penis adik kandungku sendiri! Gila memang kalau dipikir, namun itulah nafsu, jika kita tidak mampu mengendalikan maka kita yang akan dikendalikan.

“Aaaaaahh… Enak banget Teh… Enaaaaaak!! Teteh jago banget nyepongnya!!” kata Amar sambil terus memuji hisapanku pada penisnya.

“Aaaahh… Amaaar udaaah mauuu keluaaaar…!! Aaaahhh…” teriak adikku yang rupanya sudah tidak mampu menahan nikmatnya permainan mulut dan lidahku.

Tidak lama kemudian saat kepala penis Amar bersentuhan dengan daging lembut di langit-langit tenggorokanku, keluarlah dengan deras spermanya tanpa dapat dibendung lagi. Tubuh adikku menegang sambil menggigiti bibir bawahnya dan menarik erat rambutku, mungkin karena saat ini dia sedang merasakan kenikmatan yang tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata.

“Teleen semuaa pejuuu Amaar Teeh!! Jangaaaan sampeee nyisaaaaaa…!!” perintah adikku.

Aku pun menuruti permintaan Amar, kutelan seluruh sperma yang masuk ke dalam mulutku. Ini adalah pertama kalinya aku menelan sperma. Bahkan pacarku sendiri belum pernah mendapatkan keistimewaan seperti yang sedang dialami oleh Amar. Cairan putih yang menyemprot dari penis adikku memang sangat banyak, namun tidak setetes pun keluar dari mulutku. Pipiku sampai terlihat kempot menghisap dan menelan sperma tersebut dengan nikmat.

“Aaaaaahh… Udahhh Teeehhh…! Amar udah nggak tahan lagi…!! Uuuuuuuhh…” Amar minta ampun karena aku terus mengemut-emut kepala penisnya.

Namun bukannya berhenti, aku malah menghisap penisnya lebih kencang. Adikku hanya bisa mengerang keenakan saat penisnya aku bersihkan dengan mulutku. Setelah yakin sperma Amar sudah benar-benar tidak bersisa, aku pun mengeluarkan penis adikku yang mulai menyusut dalam mulutku.

“Gimana Mar, enak nggak yang Teteh lakuin barusan?” tanyaku begitu melepas penis tersebut dari mulutku, kemudian memanfaatkan sedikit waktu untuk beristirahat sejenak.

“Enak banget Teh!! Baru pernah Amar ngerasain yang seenak tadi…!!” katanya puas.

Belum cukup lama aku beristirahat tiba-tiba Amar bertanya “Teteh udah pernah ngentot belum?”

“Belum…” kataku yang memang belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan mantan maupun pacarku saat ini.

“Emangnya Amar udah pernah?” aku bertanya balik karena penasaran.

“Belum juga Teh…” jawabnya singkat.

“Ya udah nanti juga ada saatnya kok…” kataku yang tiba-tiba tersadar arah dari pertanyaan adikku tadi.

“Tapi Teh, Amar pengen banget ngerasain ngentot… Teteh mau kan?” katanya dengan nada memelas.

“Teteh nggak mau Mar!! Inget dong, kita kan kakak adik…!” aku mencoba menolak karena tidak ingin adikku berbuat lebih jauh lagi.

“Tolong dong Teh…” katanya memelas.

“Teteh belum siap kalo harus gituan sama Amar. Lagipula Teteh masih perawan…” kataku lagi.

“Kalo gitu kontol Amar sama memek Teteh digesekin aja deh. Boleh ya?” pinta adikku seperti meminta belas kasihan.

“Tapi janji yah cuma digesekin aja?” aku mengingatkannya karena tidak ingin diperawani apalagi hingga hamil oleh adik kandungku sendiri.

Adikku yang terlihat sudah terangsang berat, langsung mengiyakan karena dia pasti sudah tidak tahan lagi untuk menggesekkan penisnya pada vaginaku. Amar lalu membantuku untuk bangkit dari posisi berlutut, kemudian dia berusaha mencari lubang vaginaku untuk digesekkan dengan kepala penisnya. Tapi dia terlihat sedikit kesulitan karena memang belum berpengalaman.

“Sini Mar…” tanpa sadar aku menjulurkan tangan kananku dan menggengam penisnya lalu menuntun ke mulut vaginaku.

Karena adikku lebih tinggi, maka dia harus sedikit mengangkat badanku agar dapat menggesekkan penisnya di antara selangkanganku. Terasa hangatnya batang penisnya di bibir vaginaku. Lalu dia memaju-mundurkan pinggulnya untuk menggesek-gesekkan penisnya dengan vaginaku.

“Ouuuughhh Amaaaaarrr!!” aku mengerang kencang.

“Mar… Masukin aja penis kamu!! Teteh udah nggak tahan nih…” setelah sekian lama menerima rangsangan aku akhirnya menghendaki penis adikku untuk masuk ke dalam vaginaku.

“Iyaaa Teehhh…” jawabnya sambil terus mendesah.

Sepertinya aku sekarang sudah tidak perduli lagi dengan kenyataan bahwa laki-laki yang akan aku berikan keperawananku adalah adik kandungku sendiri! Namun aku hanya ingin Amar memperawaniku dengan lembut. Maklum saja ini merupakan pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur hidupku. Untunglah, adikku tampaknya mengerti akan perasaanku.

“Teteh udah siap?” tanya adikku.

“I-iya… Tapi pelan-pelan yah Mar. Ja-jangan kasar…” pintaku sedikit gugup.

Ia mengangguk dan sorot matanya seolah menenangkanku. Amar lalu menaikkan satu kakiku dan dilingkarkan ke pinggangnya, sedangkan tangan satunya mengarahkan penisnya agar tepat masuk ke vaginaku. Sesaat penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, namun mungkin karena vaginaku licin akibat cairan cintaku, penis Amar malah meleset keluar dari celah vaginaku. Adikku kembali berusaha, namun tampaknya agak susah baginya untuk memasukkan penisnya ke dalam liang vaginaku yang masih sempit.

Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku terlonjak ketika sebuah benda hangat masuk ke dalam kemaluanku. Rasanya ingin berteriak sekuatnya untuk melampiaskan nikmat yang kurasa. Akhirnya aku hanya bisa menggigit bibirku untuk menahan rasa nikmat itu.

“Aaaaaaaaaghhh!!!” aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu dan perih yang amat hebat melanda vaginaku.

Akhirnya keperawananku terenggut oleh adikku sendiri. Aku bisa merasakan hangatnya penis Amar yang kini terjepit di dalam vaginaku. Adikku kini memundurkan pinggulnya dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu semakin mendera vaginaku.

“Mar, Amaaar!! Sakit… Pelan-pelan dong!! Aduuuuh!!” aku meminta dengan panik kepada adikku.

“Sebentar lagi pasti nggak berasa sakit kok Teh…” jawab Amar berusaha menenangkanku sambil kembali mendorong pinggangnya dengan pelan.

Penis adikku kini semakin dalam memasuki vaginaku diiringi dengan jeritan piluku yang tersiksa oleh rasa sakit itu.

“Oooooooohh…” adikku melenguh dan menghentikan dorongannya.

Aku akhirnya sadar kalau sekarang ini seluruh penis adikku sudah terbenam sepenuhnya didalam lubang kewanitaanku. Untuk beberapa saat, kami terdiam dalam posisi itu. Adikku seperti memberiku waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaanku.

“Anget banget rasanya di dalem memek Teteh…” puji adikku seperti ingin mengalihkan rasa sakitku.

Adikku lalu menarik penisnya sedikit dari vaginaku dan dengan pelan dilesakkannya kembali kedalam liang vaginaku. Rasa pedih kembali menyengat vaginaku, namun Amar selalu berusaha menenangkanku.

“Sakit ya Teh?” tanya adikku.

“I-iya Mar… Sakiiiit bangeeet…!!” jawabku supaya adikku dapat lebih berhati-hati.

Aku merasa tampaknya Amar juga sudah mengerti bagaimana sakitnya saat seorang wanita diperawani untuk pertama kalinya karena dia selalu berusaha memompa penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa sakitku. Lama kelamaan, rasa sakit tersebut digantikan oleh rasa nikmat yang dari vaginaku akibat gerakan penis adikku. Walaupun masih bercampur dengan rasa perih, aku bisa merasakan bahwa sensasi baru ini berbeda dari saat vaginaku dioral dan dipermainkan oleh jari adikku. Rasa perih itu semakin hilang dan digantikan dengan sensasi baru di tubuhku.

“Aaaaaaaaah… Maaar…!! Amaaaar…!!!!” aku mendesah sambil menyebut nama adikku.

Amar yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan pergerakannya mulai leluasa mengatur gerakannya. Sekarang penisnya ditarik keluar hingga hanya tersisa ujung penisnya saja di dalam vaginaku. Tiba-tiba Amar mendorong pantatnya mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali menghujam liang vaginaku dengan keras.

“Aaaaaaaaakkkh…” jeritku kaget.

Namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti tadi. Amar mulai menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat, membuatku akhirnya melenguh-lenguh merasakan nikmat di vaginaku.

“Ooooohh… Aaaaahhh… Aaaaaahh…” aku mendesah-desah keenakan.

Sesekali adikku berhenti menggerakkan pinggangnya saat penisnya tertanam penuh dalam vaginaku dan mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya mengaduk-aduk isi liang vaginaku. Semakin lama, kurasakan tempo goyangan penis Amar semakin cepat keluar masuk vaginaku dan menggesek klitorisku saat memasuki vaginaku. Tubuhku juga berguncang mengikuti irama pompaan penis adikku seiring dengan desahan-desahan erotis dari bibirku. Tidak terasa sudah sekitar 15 menit sejak penis adikku memasuki vaginaku pertama kalinya. Amar masih dengan giat terus menggerakkan penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku sendiri sudah kewalahan menerima serangan kenikmatan di vaginaku.

Karena sudah dari tadi di rangsang, tidak lama kemudian aku merasa vaginaku berdenyut dan merinding. Vaginaku rasanya seperti tersedot-sedot dan seluruh syaraf di dalam tubuh berkontraksi.

“Ouuuuugggghhh… Ammaaaaaaarrrr!! Enaaaakk bangeeeeet Maaar!! Teteh mauu keluaaaaarrr!!” aku tidak kuat untuk tidak berteriak.

“Aaaaaaaaaaahhhh!!” sambil menjerit aku melepaskan rasa nikmat orgasme yang terasa luar biasa.

“Oooh… Memeknya Teteeeeh basaaah dan Aanget!! Enak banget Teeeeh…!” erang Amar menikmati penisnya di dalam vaginaku yang sudah basah oleh cairan orgasme.

Kulihat adikku masih terus memaju-mundurkan pinggulnya dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba dia mendorong tubuhku sekuat tenaga hingga terdorong sampai ke tembok.

“Ouughhh…! Enak Maaarrr…!! Terus Maaarr…. Oughhh….” kataku yang walaupun sudah mencapai orgasme tapi belum ingin berhenti.

Tanganku memegang pantatnya dan menekannya supaya penisnya bisa lebih masuk, penetrasinya pun lebih dalam. Pantatnya ditekannya lama sekali ke arah vaginaku. Lalu badannya tersentak-sentak melengkung ke depan. Kurasakan cairan hangat di dalam vaginaku. Lama kami terdiam dalam posisi itu, kurasa penisnya masih penuh mengisi vaginaku.

Lalu dia mencium bibirku dan melumatnya. Kami berciuman lama sekali, basah keringat menyiram tubuh ini. Kami saling melumat bibir lama sekali. Tangannya lalu meremas susuku dan memilin putingnya.

“Sekarang Teteh nungging deh, terus pegang pinggir bak mandi…” tiba-tiba adikku berkata.

“Kamu mau ngapain Mar?” aku sedikit bingung dengan permintaannya.

“Udah deh! Teteh ikutin kata Amar aja…” katanya lagi.

Aku pun mengikuti petunjuknya. Aku berpegangan pada pinggir bak mandi dan menurunkan tubuh bagian atasku, sehingga batang kemaluannya sejajar dengan pantatku. Aku tahu adikku bisa melihat dengan jelas vaginaku dari belakang. Lalu dia mendekatiku dan memasukkan penisnya ke dalam vaginaku dari belakang. Terdengar bunyi hentakan dari badan Amar dengan belakang pantatku. Aku juga bisa merasakan buah zakarnya bergelantungan di bongkahan pantatku.

“Aaaahhhhh…!! Enak banget Maaar… Aaaaahh… Amaaaaarrr…!!” aku menjeritkan nama adikku saat penis itu mulai masuk ke dalam rongga vaginaku.

Mulutku terus mengeluarkan desahan-desahan nikmat, kepalaku menengadah dan mataku terpejam. Sungguh luar biasa kenikmatan yang diberikan oleh adikku. Kontraksi otot-otot kemaluanku membuat adikku merasa semakin nikmat karena otot-otot itu menghimpit penisnya. Hal ini menyebabkan goyangan adikku semakin liar saja.

“Eeeeemm… Eenaaakk bangeeeet Teh…!” bisiknya sambil meremasi bongkahan pantatku.

Aku hanya mengangguk karena sedang melayang-layang sekarang. Gesekan penis Amar di kemaluanku benar-benar membuat nikmat. Aku bahkan merasa kalau penis Amar sampai membentur dinding rahimku.

“Teruuus Maaar… Oohhhh… Tekeeen lebiih daleeeem…!!” pintaku walaupun aku sadar kalau penis Amar sudah masuk seluruhnya.

Adikku sangat pintar memainkan tubuhku, dengan sangat lembut jari-jarinya menyelusuri belahan pantatku dari atas hingga ke bawah belahan vaginaku. Gerakan itu di lakukan berkali-kali sehingga pantatku terlihat membusung ke belakang.

Sambil menggenjot, tangan adikku menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku, payudaraku diremas-remasnya dengan gemas. Aku turut menggerakan pinggulnya menyambut genjotan adikku. Rasanya lebih nikmat dibanding sebelumnya. Rasa nikmat itu lebih kurasakan karena tangan adikku yang bebas kini meremas-remas payudaraku. Adikku terus memaju-mundurkan pantatnya.

“Ssssshhh… Aaaaahhhh… Pe-peniiis kamuuu keraaaas bangeeeet…!! Eehhh… Eenaaakkk Maaaar!!” desahku menikmati persetubuhan ini.

Namun dengan tiba-tiba adikku menahan gerakan pantatnya lalu menarik sebagian penisnya keluar, sehingga hanya tinggal setengahnya saja yang masih terbenam di dalam vaginaku. Hanya berselang beberapa detik kemudian, Amar kembali mendorong penisnya dengan cepat ke arah kemaluanku.

“Aaaaaaaaahhh…!!! Te-teruuuus Mar…!!! Enaaaaakkk…!!!” aku berteriak-teriak tidak terkendali.

Tidak ingin hanya berdiam diri saja, aku ikut membantu adikku dengan menggerakkan pantatku ke depan dan belakang hingga akhirnya dia berteriak “Aaaaaah… Amaaar udaaaah pengeeeen keluaaaar Teeeh…!!”

“Ja-jangaan keluaaar duluu Maaar…! Aaaaaaah… Tu-tungguuu Teteeeh…!!” aku berusaha meresapi semua kenikmatan tersebut.

Aku sungguh berharap dengan begitu rasa orgasme dapat segera datang. Ternyata tidak lama kemudian, sesuai dengan keinginanku, bersamaan dengan teriakan Amar, dapat kurasakan vaginaku mengejang beberapa kali. Tubuhku menggelinjang diiringi dengan dengan semprotan-semprotan panjang di dalam vaginanya. Aku merasakan tembakan sperma adikku yang hangat kembali membasahi rahimku.

“Ooooooh… Teteeeeeeeh…!” adikku melenguh panjang sambil menekan dalam-dalam penisnya yang menyemburkan spermanya.

Setelah mencapai orgasme aku tersenyum pada adikku itu dan menciumnya di bibir dengan mesra. Kami lalu berciuman untuk waktu yang cukup lama. Bibir kami saling berpagutan, aku dengan agresif memainkan lidahnya di dalam mulut adikku, aku menyapu langit-langit mulutnya dan mendorong-dorong lidah adikku dengan lidahnya. Adikku pun tergerak untuk ikut memainkan lidahnya membalas lidah aku yang seolah mengajaknya ikut menari. Sambil berciuman dengan penuh gairah tangan adikku ikut mengelusi punggungku.

‘Sluuup… Sluuuuph…’ demikian bunyinya saat lidah kami saling membelit dan bermain di rongga mulut.

Beberapa saat kemudian kami saling melepas ciuman setelah merasa nafas kami memburu dan butuh udara segar. Aku mengambil sabun dan mulai menggosokannya ke seluruh tubuh Amar. Wajah adikku masih terlihat lelah ketika tanganku membelai tubuhnya, tapi yang jelas penisnya masih tampak tegang terutama ketika aku menyabuninya. Dengan nakal aku sengaja mengocoknya pelan sehingga adikku mulai mendesah.

“Sekarang gantian Amar yang nyabunin Teteh yah…” ujarku seraya menyerahkan sabun ke tangannya.

Amar menyabuni seluruh tubuhku dengan penuh nafsu. Ketika sampai di bagian vagina, adikku mulai memainkan jarinya lagi.

“Eeeemmmhhh…” aku mendesah sambil memejamkan mata.

Aku memeluk adikku dan menggeser tubuh ke dekat bak mandi, kemudian menyiram dan membilas busa sabun di tubuh kami berdua. Amar mengelus dan memasukkan jarinya ke vaginaku sambil mengemut putingku yang mulai menegang. Aku terus mendesah menikmati jari-jari Amar di vaginaku yang disertai hisapan pelan pada putingku. Kepalaku terus menengadah dengan mata terpejam. Sedang larut-larutnya dalam birahi tiba-tiba aku mendengar suara klakson mobil yang sudah tidak asing lagi.

“Aduh Mar!! Itu kan suara klakson mobil Ayah…!!” teriakku dengan panik.

Dengan terburu-buru Amar langsung melepas pelukannya dari tubuhku. Dia segera memakai handuk miliknya, sedangkan aku tanpa pikir panjang memakai kembali kaos dan celanaku yang dalam keadaan kotor. Lalu kami berdua keluar dari kamar mandi, Amar masuk ke kamar tidurnya sedangkan aku membukakan pintu depan tanpa sempat berganti pakaian terlebih dahulu.

“Teteh sama Amar lagi pada dimana sih? Kok tadi Ibu ketok-ketok pintu nggak ada yang bukain? Jadinya Ayah bunyiin klakson mobil deh…” tanya Ibu ketika sudah berada di ruang tamu.

“Ta-tadi Teteh lagi di kamar mandi, terus Amar lagi di kamarnya. Makanya nggak ada yang denger Ibu ngetok pintu…” jawabku gugup karena tidak terbiasa berbohong.

“Oooh gitu…” kata Ibu singkat.

“Uuuuh… Untung aja Ibu nggak curiga…” pikirku sambil menghela nafas lega.

Namun bukannya jera karena perbuatanku dengan Amar nyaris ketahuan, pada malam harinya saat orang tua dan adik-adikku yang lain sudah pergi tidur, aku mengetuk kamar tidur Amar untuk kemudian melanjutkan permainan yang tadi sempat tertunda.

Sejak saat itu kami melakukannya bagaikan pengantin baru, hampir tiap malam kami bersetubuh. Bahkan pernah dalam semalam kami melakukannya hingga tiga kali! Biasanya Amar membiarkan pintu kamarnya tidak dalam keadaan terkunci, lalu saat keluargaku yang lain sudah terlelap aku datang ke kamarnya dan kami pun bersetubuh sampai kelelahan.

Terkadang saat kedua orangtua serta adik-adik perempuanku sedang tidak berada di rumah, kami berani melakukan persetubuhan tersebut tidak hanya di kamar adikku ataupun kamarku, namun juga di ruang keluarga, ruang tamu hingga kamar Ayah dan Ibu. Bahkan pernah juga ketika rumah kami masih dalam keadaan ramai, adikku yang sudah tidak dapat menahan nafsu lagi, memintaku untuk melakukan oral seks di kamarnya.

Walaupun aku selalu menyadari kalau perbuatan yang kami lakukan ini sangat dilarang, namun tetap saja aku dan adik laki-lakiku terus melakukan hal tersebut hingga berulang kali. Tetapi sejak kejadian itu aku merasa Amar telah berubah menjadi anak yang lebih penurut, terutama kepadaku.

- Tamat -